Sempat Tak Dipercaya karena Anggotanya Suka Cengengesan
G-20, Gerakan Sosial dengan Iuran Rp 20 Ribu Per Bulan
Dulu dipandang sebelah mata, kini Gerakan 20 (G-20) menjadi partner masyarakat kurang mampu di Kabupaten Sidoarjo. Mereka menyumbangkan kaki palsu hingga gerobak untuk orang-orang yang membutuhkan.
WAHYU ZANUAR BUSTOMI
NOMINAL yang mereka kumpulkan tiap bulan memang tidak banyak. Hanya Rp 20 ribu atau kalau dibelikan rokok cuma dapat sebungkus. Meski sedikit, manfaatnya sangat besar. Sebab, jumlah yang menyumbang kini sekitar 200 orang. Padahal, saat awal berdiri enam tahun lalu, G-20 hanya beranggota 13 orang.
Setiap hari anggota G-20 nyangkruk di Perumahan Sidoasri, Sidoarjo. Mereka memang punya kafe sendiri yang dibangun dari uang urunan serta sumbangan seorang pengusaha di Bali. Tidak semua bisa hadir. Hanya yang punya waktu luang.
Kafe yang dilengkapi fasilitas wifi, meeting room, serta seperangkat komputer dan printer tersebut juga digunakan pengunjung nonanggota
J
Mereka boleh nunut nge-print dengan biaya seikhlasnya. Uang yang dimasukkan ke kaleng itu digunakan untuk biaya perawatan kafe.
Saat Jawa Pos berkunjung ke kafe tersebut beberapa waktu lalu, banyak anggota yang berkumpul. Sebab, mereka berencana mengagendakan acara sosial bulan depan. Salah satu yang hadir adalah Nugroho, ketua G-20.
Enam tahun lalu komunitas G-20 sempat dipandang sebelah mata. Bahkan dianggap sebagai komunitas yang tidak jelas karena para anggotanya suka cengengesan dan kurang serius.
’’Dulu tidak ada yang percaya sama G-20, apalagi waktu diketuai Ceda,’’ kata Nugroho sambil menunjuk orang yang duduk di sebelahnya. Mereka lantas tertawa. G-20 terbentuk karena kegundahan 13 fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Kabupaten Sidoarjo. Mereka gundah karena eksis berkegiatan sosial yang dibiayai pemerintah, bahkan digaji.
Tiga belas orang tersebut adalah Hengki, Ceda, Nugroho, Adi, Samsul, Arifin, Ulul, Margo, Deni, Triyas, Angga, Prananda, dan Muklis. Saat ngopi bareng di warung di pinggir jalan Sidoarjo, tercetus ide untuk berbuat sesuatu. Yakni, urunan minimal Rp 20 ribu. ’’Kalau mau lebih dari itu, ya monggo,’’ ungkap Nugroho.
Semua pembayarannya dilakukan setelah mereka mendapat gaji sebagai pendamping fasilitator PNPM atau yang sekarang berubah menjadi Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Komunitas tersebut ketika itu tidak bisa langsung mengadakan aksi sosial di masyarakat karena baru punya dana Rp 160 ribu.
Tiga bulan kemudian mereka melakukan aksi sosial untuk kali pertama setelah rutin urunan. Sebanyak 13 anggota G-20 mendatangi salah satu panti asuhan di Sidoarjo dengan membawa sembako serta kebutuhan lainnya.
G-20 yang awalnya diketuai Ceda diganti Nugroho sebulan setelahnya. Sebab, Ceda punya kesibukan lain. Hingga hari ini, Nugroho tetap mengisi jabatan sebagai ketua. Sebab, tidak ada yang mau jadi ketua. ’’Saya juga gak tahu kenapa anak-anak tidak ada yang mau jadi ketua,’’ ujar Nugroho, kemudian tertawa lepas.
Dia menjelaskan, G-20 lebih banyak memberikan modal usaha kepada warga yang kurang mampu. Tidak berupa uang, melainkan alat untuk usaha. Nugroho menjelaskan, saat ini anggota G-20 tidak hanya berasal dari mantan fasilitator PNPM. Banyak juga warga biasa yang ikut membayar iuran setiap bulan. Bahkan, banyak yang sengaja membayar lebih dari angka minimal.
Selain fokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, komunitas itu getol membantu dunia pendidikan. Bantuan biasanya berupa alat sekolah dan sepeda angin bagi siswa yang kurang mampu, tetapi berprestasi. Mereka juga beberapa kali memberikan kaki palsu untuk warga yang membutuhkan. Dengan semboyan Sebarkan Virus Kebaikan, G-20 berharap bisa menjangkau seluruh kecamatan di Sidoarjo.