Pernah Didatangi Pasien SMP yang Tenggak 30 Butir Pil Koplo
Irwan Dwi Prabowo, Ujung Tombak Rehabilitasi Pemadat di BNNK Sidoarjo
Irwan Dwi Prabowo merupakan salah seorang ujung tombak memerangi bahaya narkoba di Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Sidoarjo. Dia adalah dokter yang berjuang merehabilitasi para pemadat.
HASTI EDI SUDRAJAT
INGATAN Irwan melayang pada 2016. Tidak lama setelah bertugas di BNNK Sidoarjo, dia didatangi guru bimbingan konseling (BK) sekolah swasta. Guru itu mengajak siswa perempuannya yang masih pelajar SMP. Ternyata, bocah yang saat datang mengenakan seragam sekolah tersebut adalah pecandu berat pil dobel L alias pil koplo. Irwan pun hanya bisa menarik napas.
Dalam ceritanya, sehari siswa SMP itu dua kali menenggak pil haram tersebut. Jumlah yang ditenggak tidak tanggung-tanggung. Sebanyak 30 butir pil sekaligus! Bisa diba- yangkan. ”Akhirnya, bisa pulih setelah menjalani perawatan. Katanya, siswa itu kenal barang seperti itu dari temannya,” ungkap Irwan.
Bisa memulihkan pecandu itulah yang membuat Irwan bangga luar biasa. Bagi sejumlah pemadat di Kota Delta yang pernah menjalani rehabilitasi, bisa jadi namanya sudah familier. Sebab, pria kelahiran 1986 itu merupakan penanggung jawab prosesnya. ”Saya di sini mulai 2016,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos di ruang kerjanya.
Itu setelah dia menyelesaikan uji kompetensi dokter Indonesia (IKDI). Sebelumnya Irwan adalah dokter di RSIA Graha Medika Surabaya. Level jabatannya pun sempat menyentuh puncak dengan menjadi direktur utama. Namun, pengalaman masa silam menuntunnya untuk dapat ikut menolong pecandu narkoba.
Irwan mengaku, lingkungan tempat tinggalnya termasuk menjadi sasaran edar narkoba. Beberapa temannya pun terjerumus. Sejatinya, mereka sangat tersiksa. Kepuasan sesaat, tetapi dampaknya sangat membahayakan. ”Mereka mau sembuh, tetapi tidak tahu caranya. Di sisi lain, keinginan untuk terus nyandu narkoba kian tinggi dari hari ke hari,” ungkap bapak dua anak tersebut.
Karena itu, niat untuk bisa berkontribusi memerangi bahaya narkotika lewat jalur medis pun semakin kuat. ”Dua tahun setelah uji kompetensi ada informasi, BNNK Sidoarjo membutuhkan dokter. Saya pun masuk,” kenang alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu.
Menghadapi para pecandu narkoba tentu berbeda dengan pasien biasa. Irwan pun kembali menempuh pendidikan khusus yang diadakan BNN pusat. Dia menjalani pendidikan sebagai asesor dan konselor untuk bisa menjadi dokter rehabilitasi. Nah, di akhir pendidikan, dia mendapat lisensi.
Memamg, tidak mudah untuk bisa merehabilitasi pecandu. Yang pasti, langkah awalnya adalah asesmen. Dia mempelajari latar belakang pemadat. Mulai silsilah keluarga, lingkungan tempat tinggal, jenis narkoba yang digunakan, sampai dosis yang dikonsumsi. Selanjutnya, melakukan konseling. ”Muaranya ada dua, rawat inap atau rawat jalan,” jelasnya.
Mereka yang harus rawat inap adalah yang rasa candunya sudah parah. Biasanya lebih dari setahun sebagai pemadat. ”Pasien seperti itu lantas dirujuk ke RSJ Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Malang,” tuturnya.
Tentu, klien tidak dijadikan satu dengan pasien psikosis. Mereka ditempatkan di ruangan khusus napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif ). Proses rehabilitasi tersebut akan dibantu pakar lain. Yakni, dokter spesialis kejiwaan. Sebab, psikologis pecandu memang sudah berbeda dengan orang biasa. ”Rata-rata harus mondok (menetap, Red) sekitar tiga bulan. Tidak semua klien bisa langsung pulih, persentasenya sekitar 60 persen,” ujarnya.
Adapun klien rawat jalan, umumnya berlangsung selama dua bulan. Dia akan meminta klien menemuinya selama delapan kali. Seusai tahap itu, klien tidak lantas dilepas. Mereka masih harus menjalani pascarehabilitasi. ”Sudahlah. Enggak ada enaknya menjadi pengguna narkoba. Lebih baik jauhi sejak awal sebelum menyesal,” kata suami dr Meyta Minggar itu mewanti-wanti.