Setnov Dituntut Bui 16 Tahun
Paling Berat daripada Terdakwa Kasus Korupsi E-KTP Lain Karir Politik Bisa Berakhir
JAKARTA – Karir politik mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) terancam berakhir. Tuntutan hukuman yang dimintakan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemarin (29/3) nyaris tidak memberi Setnov peluang kembali ke kancah politik tanah air J
Jaksa KPK meminta hakim memvonis Setnov dengan pidana penjara 16 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Setnov juga dituntut membayar uang pengganti USD 7,435 juta dikurangi Rp 5 miliar (uang yang sudah dikembalikan). Tidak hanya itu, pria 63 tahun tersebut juga dituntut hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik atau dilarang menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah masa pidana penjara dijalani.
”Perbuatan terdakwa (Setnov) tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi,” kata jaksa KPK Abdul Basir saat membacakan amar tuntutan.
Tuntutan pidana penjara terhadap Setnov terbilang paling berat daripada tiga terdakwa kasus megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) lain. Andi Agustinus alias Andi Narogong, misalnya, dituntut delapan tahun penjara. Lalu, ada Irman yang dituntut tujuh tahun. Sugiharto dituntut lima tahun. Vonis untuk ketiganya sama dengan tuntutan.
Dalam surat tuntutan setebal 2.415 lembar yang mulai dibacakan pukul 11.30 itu, jaksa KPK hanya menuntut Setnov atas dakwaan kedua atau pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Dengan begitu, tuntutan kemarin hanya menguraikan unsur-unsur dalam pasal 3. Pada awal persidangan, jaksa menggunakan dakwaan alternatif. Selain pasal 3 di dakwaan kedua, jaksa menggunakan pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor di dakwaan pertama.
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Nah, tuntutan jaksa yang dibacakan selama 3,5 jam itu menguraikan pembuktian unsur-unsur di pasal tersebut. Pada bagian pertama, jaksa KPK Ahmad Burhanuddin menyampaikan argumentasi pembuktian unsur ”setiap orang”. Menurut dia, unsur itu jelas terpenuhi seiring kapasitas Setnov sebagai anggota DPR dan ketua Fraksi Partai Golkar saat kasus e-KTP bergulir pada 2011–2012. ”Terdakwa merupakan anggota DPR periode 2009–2014,” katanya.
Setelah itu, giliran jaksa KPK Wawan Yunarwanto menguraikan pembuktian unsur perbuatan ”menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. Wawan menjelaskan secara terperinci bukti-bukti yang mendukung argumentasi tersebut. Mulai bukti adanya pertemuan Setnov dengan pihak Kemendagri dan konsorsium PNRI (pemenang lelang e-KTP), bukti percakapan, keterangan saksi, hingga penjelasan para ahli.
Wawan juga menyampaikan argumentasiyangmematahkan sangkalan Setnov terkait keterlibatannya dalam pengaturan proyek e-KTP maupun penerimaan fee USD 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille seharga USD 135 ribu. Argumentasi yang diuraikan Wawan berupa kesesuaian bukti yang diperoleh selama persidangan bergulir.
”Meski menyangkal, berdasar kesesuaian alat bukti, uang (USD 7,3 juta) tersebut adalah untuk terdakwa,” kata Wawan.
Bukti yang dimaksud, antara lain, keterangan Anang Sugiana Sudihardjo (mantan Dirut PT Quadra Solution, rekanan e-KTP) yang menyebut uang fee e-KTP yang dikirim Johannes Marliem (bos Biomorf ) telah didistribusikan kepada Made Oka Masagung (rekan Setnov).
Bukti keterangan lain yang mengarah pada pendistribusian uang kepada Setnov itu juga disampaikan sejumlah saksi. Yakni, Andi Narogong, Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, dan M. Nur alias Ahmad. Selain itu, jaksa memiliki bukti berupa rekaman percakapan Anang dan Marliem. Juga rekaman pemeriksaan Marliem oleh FBI di Amerika Serikat. Ada pula bukti rekaman percakapan Marliem, Andi, dan Setnov saat sarapan pagi di rumah Setnov.
Menurut Wawan, alat bukti itu sangat relevan bila dikaitkan dengan transaksi tidak lazim oleh Made Oka dan keponakan Setnov, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, di luar negeri. Mulai Singapura, Amerika Serikat, hingga Mauritius (Afrika). ”Dikirimkannya uang ke Irvanto dan Made Oka atas perintah terdakwa,” ujarnya.
Untuk menguatkan indikasi penerimaan yang disalurkan melalui orang lain itu, jaksa kemarin menyertakan bukti berupa putusan pengadilan terhadap perkara mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Dalam perkara tersebut, uang korupsi untuk Andi tidak terima secara langsung. Melainkan melalui adiknya, Andi Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng.
”Penuntut umum berpendapat, keterangan terdakwa (soal bantahan penerimaan uang) tidak didukung alat bukti apa pun dan bertentangan dengan alat bukti lainnya,” ungkapnya.
Keterangan Setnov yang bertentangan dengan bukti lain terkait pernyataan bahwa Irvanto merupakan kurir fee e-KTP yang diperintah Andi Narogong. ”Bila ada keterangan Andi memerintah Irvanto untuk memberikan uang kepada anggota DPR, dipastikan di luar uang USD 3,5 juta yang diterima Irvanto,” tegasnya.
Terkait jam tangan yang dikembalikan Setnov kepada Andi Narogong, jaksa menilai pengembalian itu tidak mengurangi nilai manfaat. Sebab, jam tangan tersebut digunakan Setnov sejak 2012 hingga 2016. Pengembalian pun dilakukan seiring ramainya berita tentang pengusutan kasus e-KTP. Begitu pula soal pengembalian uang Rp 5 miliar yang dianggap jaksa layak dirampas negara.
Selain menguraikan bukti, dalam tuntutan kemarin jaksa KPK menyatakan bahwa permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Setnov pada 10 Januari lalu belum memenuhi syarat kualifikasi. Salah satu hal yang memberatkan pemberian JC itu adalah Setnov belum mengakui seluruh perbuatannya di persidangan.
Atas uraian dalam tuntutan kemarin, jaksa KPK menilai Setnov telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi e-KTP. Bahkan, perbuatan terdakwa dinilai bersifat masif, yakni menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional. ”Dampak perbuatan terdakwa masih bisa dirasakan sampai saat ini,” tegas Basir.
Selain itu, hal yang memberatkan tuntutan Setnov adalah tidak kooperatif saat proses penyidikan maupun persidangan. Hal itu merujuk pada insiden kaburnya suami Deisti Astriani Tagor tersebut saat hendak ditangkap KPK pada 15 November tahun lalu. Juga insiden menabrak tiang listrik di kawasan Permata Hijau yang berujung dugaan rekayasa rawat inap di RS Medika Permata Hijau.
Penasihat hukum Setnov, Firman Wijaya, menambahkan, dalam pertimbangan jaksa, pihaknya tidak melihat alasan yang signifikan bahwa JC kliennya ditolak. Artinya, KPK masih memberikan kesempatan kepada Setnov untuk memperbaiki syarat-syarat kualifikasi JC. ”Kalau dikatakan ada syarat yang belum dipenuhi, berarti ada syarat yang sudah terpenuhi,” terangnya.
Firman mengatakan, dengan belum ditolaknya JC tersebut, pihaknya berharap masih ada celah agar kliennya mendapatkan keringanan hukuman dalam sidang yang diketuai hakim Yanto itu. Caranya melengkapi syarat JC yang belum dipenuhi tersebut.
Sementara itu, sejumlah elite Partai Golkar yang menyaksikan sidang tuntutan kemarin. Di antaranya, Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham dan Agung Laksono. Mereka terlihat di deretan kursi pengunjung sidang. ”Kalau saudara-saudara kita kena masalah, ya harus kita datangi,” tutur Idrus.