Paskah dalam Bingkai Kebangsaan
PASKAH yang biasanya dirayakan pada pertengahan April menjadi bulan penantian sekaligus identik dengan penebusan dosa Isa Almasih bagi kaum kristiani. Isa Almasih yang lahir untuk menebus dosa manusia harus mengalami sebuah tantangan besar untuk menggenapi firman Allah demi menyelamatkan manusia dari dosa.
Isa Almasih yang lahir pada gelapnya malam dan dinginnya hawa gurun memiliki misi yang sangat besar dari Allah. Sebagai seorang yang didaulatkan menjadi penerus takhta Raja Daud, kelahirannya ditakdirkan untuk menyelamatkan manusia dari jurang penuh dosa.
Dahulu Yesus lahir saat Romawi menguasai wilayah Palestina. Banyak orang yang kehilangan harapan. Kemiskinan yang merajalela, penindasan yang tiada henti yang bukan saja karena pendudukan bangsa Romawi, tetapi juga prilaku para petinggi bangsa Israel yang membebani rakyat sedemikian rupa. Itulah situasi ketiadaan harapan, ketika bangsa pilihan ini yang dahulu berjaya terpuruk dalam kemerosotan akibat belenggu penindasan.
Kematian Isa sang penerus takhta Daud di atas kayu salib menjadi simbol cinta kasih Allah bagi manusia dengan perantara putra-Nya untuk menebus dosa. Ia lahir dari rahim perempuan Israel. Kehadiran sang pembawa damai tidak terlepas dari situasi bangsa Israel yang kacau. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah bangsa besar yang terjajah dan Isa-Almasih sendiri pun memiliki kewajiban untuk melakukan pembebasan, bukan dengan kekerasan melainkan dengan cinta dan kasih.
Bagi orang kristiani, sebagaimana teladan Isa Almasih, Paskah harus menjadi titik awal untuk mulai terlibat dalam polemik yang dihadapi bangsa Indonesia. Iman kekristenan harus menjadi kontekstual dalam pergulatan kebangsaan yang kian memprihatinkan.
Tingginya tingkat kemiskinan, ketimpangan pembangunan yang terjadi di berbagai daerah, perubahan iklim yang tidak menentu, rendahnya moralitas politisi, korupsi dalam birokrasi, radikalisme, suburnya fundamentalisme agama, ancaman disintegrasi bangsa, pelanggaran terhadap HAM, dan segudang persoalan lain yang belum terselesaikan. Semua itu mengundang keterlibatan kitauntukbahu-membahugunamencari solusi pada masa Paskah ini.
Korupsi menjadi penyakit kronis bagi masyarakat Indonesia. Mulai tingkat daerah hingga tingkat pusat tidak luput dari korupsi. Tidak sedikit bupati, wakil kota, dan anggota DPR, mulai tingkat kabupaten hingga pusat, terjerat korupsi.
Selain merugikan negara, tindakan itu merusak moral integritas bangsa. Dalam dunia politik misalnya, tingginya biaya kampanye tidak pernah terlepas dari politik uang. Kita butuh massa untuk menggalang dukungan dan massa butuh uang untuk memberikan loyalitasnya.
Model politik yang transaksional menghasilkan politisi yang juga transaksional. Tidak heran jika kualitas para pemimpin publik kita dipandang sebelah mata bahkan oleh rakyatnya sendiri. Sebagai bentuk tanggung jawab jika kita merasa bagian dari bangsa besar ini, kita tidak bisa seenaknya saja menuding siapa yang salah karena tudingan bisa saja adalah bentuk dari pelarian dari evaluasi diri.
Mari kita berintrospeksi mengapa rakyat yang katanya berdaulat secara politik menghasilkan pemimpinpemimpin korup. Mungkin kita terlalu naif mengartikan demokrasi. Kita memilih karena kita egois untuk peduli. Kita lupa bahwa berbicara politik yang demokratis tidak melulu berkutat pada persoalan kekuasaan. Kita lupa untuk mengevaluasi pilihan kita, skeptis untuk bertindak karena kita kehilangan harapan untuk memperbaiki kekacauan ini. Kita begitu senang melihat banyak pejabat negara yang ditangkap. Tetapi, sebagai pemilih, kita mencuci tangan seolah-olah kita adalah orangorang suci yang tidak pernah menjadi bagian dari kekacauan itu.
Otak kita telah sedemikian rupa diracuni oleh kepentingan kuasa, memilih karena kesamaan dan uang. Bangga dengan kuantitas walaupun minim kesadaran politik. Bangga dengan perbedaan, tetapi sungkan menjadi satu dalam bahasa kebenaran dan keadilan. Itulah potret negeri kita.
Paskah menjadi momentum keprihatinan bersama terhadap situasi bangsa. Keprihatinan yang dibangun dalam keheningan, tidak dalam eforia yang selfis. Sebagai penganut Kristen, momentum Paskah tidak lagi menjadi sukacita yang narsis. Paskah adalah momentum yang solider dengan penderitaan bangsa akibat berbagai persoalan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya.
Isa Almasih patut dijadikan soko guru dalam masyarakat demokratis. Ia tidak merebut kekuasaan atau melawan kekuasan dengan kekuasaan. Ia tetap menjadi rakyat yang tak punya jabatan publik. Aktif memberikan kritik tajam kepada penguasa, aktif juga memberikan harapan kepada masyarakat dengan memberi mereka makan, menyembuhkan mereka dari sakit, membangkitkan orang mati, dan memberikan perhatian lebih kepada mereka yang tersingkirkan.
Melalui kata dan tindakannya, ia mengajarkan bahwa kekuasaan politik harus diimbangi partisipasi kritis dan dialektis. Kasih dan perdamain menjadi kunci terbentuknya masyarakat demokrasi karena kasih tidak transaksional.
Menjadi solider berarti terlibat langsung dengan realitas kebangsaan. Hal itu merupakan bentuk transformasi iman kristiani untuk mengubah tatanan bangsa yang lebih humanis dan sejahtera. Keterlibatan itu nyata dalam perjuangan bersama dengan semangat dialog. Perubahan tidak terwujud apabila umat kristiani hanya berkutat di sekitar altar seolaholah hanya itulah kegiatan yang menyenangkan Tuhan. Orang kristiani harus berani keluar dari zona nyaman dan membawa keselamatan itu sebagai sabda yang menjadi daging di tengah bangsa yang membutuhkan perubahan.
Orang kristiani dengan semangat solidaritas Paskah perlu membuat sebuah resolusi baru. Berani berjuang dan berpihak kepada berbagai persoalan bangsa dan menjadi teladan bagi masyarakat.
Selamat hari raya Paskah. (*)