Registrasi Seluler yang Tak Siap
Aksi teatrikal para pedagang yang tergabung dalam Kesatuan Niaga Celular Indonesia (KNCI) di Lapangan Karang, Kotagede, Jogjakarta, memang dramatis. Yakni, menampilkan eksekusi hukuman mati dan ratusan nisan. Kendati demikian, mereka memang tak berlebihan.
Sebab, kebijakan pemerintah terkait dengan registrasi ulang nomor telepon seluler bisa membunuh konter-konter kecil. Dalam aturannya, Kemenkominfo hanya memperbolehkan gerai provider seluler resmi yang bisa melakukan registrasi lebih dari tiga kali. Sedangkan konter seluler kecil tidak bisa. Padahal, penjualan kartu perdana menjadi andalan mereka untuk meraup keuntungan.
Margin dari penjualan ponsel dan pulsa memang sangat tipis. Yang paling besar adalah penjualan kartu perdana. Mereka bisa untung Rp 3 ribu–Rp 4 ribu per kartu. Jika kebijakan tersebut diberlakukan, penjualan kartu perdana mereka pasti drop. Itu bisa mematikan mereka.
Sejatinya, niat melakukan registrasi itu memang sangat penting. Yakni, mencegah penyebaran hoax, meminimalkan penipuan seluler, hingga secara tak langsung mencegah terorisme. Registrasi nomor ponsel pun bukan kebijakan baru. Sejumlah negara sudah melakukannya, dengan cukup ketat pula.
Namun, seperti sejumlah kebijakan lainnya, hal tersebut tidak dibarengi kesiapan sistem. Sejumlah keluhan terkait dengan registrasi pun muncul. Termasuk yang aneh dan tidak masuk akal. Ada pasutri di satu KK yang istrinya bisa melakukan registrasi dengan lancar-lancar saja, sedangkan si suami terus-menerus tidak bisa registrasi. Padahal sudah ke dispendukcapil.
Lini masa sejumlah platform media sosial pun penuh dengan keluhan tersebut. Memakimaki pemerintah yang dinilai tidak siap. Sebab, mereka sudah berniat baik melakukan registrasi, tapi terkendala sebab-sebab yang berasal dari ketidaksiapan pemerintah sendiri.
Yang terakhir, pemerintah tidak melihat kultur di masyarakat. Yang sering memisahkan SIM card untuk komunikasi dan satu lagi untuk berselancar di dunia maya. Yang menjadi tumpuan hidup para konter kecil. Melakukan pelarangan registrasi begitu saja sama dengan membunuh usaha kecil dan menengah pengusaha seluler. Itu tentu bertentangan dengan semangat pemerintah sendiri yang mendorong masyarakat untuk berwirausaha.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya segera membenahi kebijakan yang dikeluarkannya. Dengan cepat. Sebab, sejauh ini respons pemerintah juga terkesan lamban dan normatif terkait dengan keluhan masyarakat tersebut. Dengan demikian, niat registrasi nomor telepon seluler bisa tercapai tanpa harus merugikan masyarakat.