Puas Bertanding dan Mengajar, Waktunya Rekreasi
Ananta Sigit Sidharta, Dosen ITS dan Mantan Atlet Biliar
Ananta Sigit Sidharta bukan sosok baru di dunia olahraga biliar. Dia pernah menyabet 49 medali kejuaraan nasional maupun internasional. Selama menjadi atlet, Ananta tetap menjalani profesinya sebagai dosen Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
SEPTINDA AYU PRAMITASARI
ANANTA sudah tidak lagi muda. Usianya tahun ini menginjak kepala tujuh. Meski begitu, pria bertubuh tinggi kurus itu masih terlihat bugar. Namun, sudahduatahunterakhirdiamemutuskan pensiun sebagai atlet biliar.
Pertandingan terakhir yang diikuti adalah PON 2016. Setelah itu, dia berhenti. Bukan karena usianya yang semakin tua, tetapi lantaran spesialisasi biliar yang dibidanginya sudah jarang ditandingkan. Yakni, jenis permainan cadre 47/2.
Puluhan tahun berkutat dengan biliar, Ananta merasa puas dengan pencapaiannya. Kemenangan terbesar bagi dia adalah di SEA Games XIV Jakarta pada 1987. Dua jenis permainan diikuti. Yakni, libre dan cadre 47/2. Dua-duanya mengantarkan dia mendapat emas.
Ananta masih menyimpan rapi seluruh catatan pertandingan yang pernah diikuti. Suami Ekasari Pramesanti itu dengan bangga menunjukkan rekor-rekor yang pernah dicapai. ”Saya catat semua prestasi. Saya juga analisis hasil setiap pertandingan,” kata Ananta saat ditemui di ruang dosen Teknik Sipil ITS Rabu (28/3).
Ayah tiga anak tersebut mengenal biliar sejak kelas VIII SMP. Dia melihat ayahnya, Budi Prawiro, yang juga pemain biliar. Di rumah, Ananta belajar dengan pelatih yang seorang atlet biliar. Bakat dan kemampuannya terlihat sejak kali pertama memegang stik. Hampir setiap tahun, dia mengikuti kejuaraan
J
Bahkan, hingga berprofesi sebagai dosen di ITS pada 1976, dia masih tetap menjadi atlet. Dua profesi tersebut dijalaninya dengan baik. ”Awalnya saya sempat takut saat jadi dosen. Takut kalau tidak bisa main biliar lagi,” ucap pria lulusan Colorado State University, Amerika, itu.
Namun, dia bisa membuktikan bahwa keduanya bisa dilakukan sejalan. Yang penting bisa mengatur waktu. Setiap ada turnamen, dia berkoordinasi dengan dosen lain untuk menggantikan mengajar di kelas. ”Turnamen kan satu atau dua kali saja dalam satu tahun,” ujarnya.
Menurut dia, biliar dan ilmu teknik sipil memiliki keterkaitan. Karena itu, Ananta tidak pernah merasa sulit menjalani keduanya. Bahkan, dia berkeinginan membuat teori biliar dengan teknik sipil. ”Ini cocok dengan mata pelajaran yang saya ajar, fondasi beban dinamis,” katanya.
Selama bertanding, Ananta kerap grogi terhadap penonton. Setiap grogi, dia selalu menganggap seluruh penonton adalah mahasiswanya. Dia seperti me- nunjukkan kemampuannya dalam permainan biliar bola tiga kepada mahasiswanya. ”Saya tidak menganggap itu sebagai beban. Di kelas, saya juga sering menunjukkan hasil pertandingan untuk dianalisis bersama,” ujarnya.
Pada 2010, sejatinya Ananta sudah memutuskan untuk pensiun dari biliar. Dia mau berfokus jadi dosen saja. Namun, pada 2016 di ajang PON Bandung, dia kembali dilibatkan dalam jajaran pemain. ”Pertandingan terakhir, saya kalah. Saya heran kenapa bola-bolanya tidak mau nurut sama saya. Biasanya nurut,” ucapnya, lantas terkekeh mengingat pertandingan dua tahun silam itu.
Kini Ananta sudah memutuskan benar-benar pensiun dari dunia biliar. Dia juga sudah purnatugas sebagai dosen tetap di ITS pada 2013. Namun, dia masih diperbantukan mengajar untuk mapel pilihan. Meski kadang sangat rindu meja biliar, Ananta ingin menghabiskan waktu di usia senjanya bersama keluarga. Kegiatan utamanya adalah berlibur. ”Sudah berpuluh-puluh tahun saya sibuk bekerja dan bertanding biliar. Sudah puas keduanya. Sekarang waktunya rekreasi,” katanya.