Jawa Pos

KEJAR MIMPI MENJADI RAJA

-

Tepat hari ini, 68 tahun lalu adalah kali pertama dilakukann­ya pengambila­n gambar untuk film yang disutradar­ai Usmar Ismail. Momen tersebut disepakati menjadi tonggak awal industri perfilman di Indonesia.

PERISTIWA bersejarah itu pun dimaknai dengan ditetapkan­nya 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Penetapann­ya dilakukan Konferensi Kerja Dewan Film Nasional dan Organisasi Perfilman pada 1962. Setelah lebih dari enam dekade, sejauh mana industri perfilman Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri?

Silakan menganggap cita-cita itu sebagai mimpi, terutama ketika layar-layar di jaringan bioskop tanah air masih dikuasai film-film impor. Tapi, tentu mimpi itu saat ini memiliki secercah harapan. Apalagi jika melihat antusiasme generasi muda nonton film Indonesia ke bioskop.

Yang terbaru, kesuksesan fenomenal Dilan 1990 yang tembus 6.314.722 penonton adalah fakta nggak terbantahk­an. Jumlah itu memang masih tertinggal dengan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang dua tahun lalu mampu mengajak 6.858.616 penonton berbondong-bondong ke bioskop. Bukan nggak mungkin Dilan 1990 bisa tembus 7 juta.

Jumlah penonton memang masih jadi andalan untuk mengukur sukses sebuah film. Namun, ada juga film Indonesia yang mendapat apresiasi dari kritikus, para pelaku perfilman, atau sebuah festival top tetap nggak berhasil mendatangk­an penonton.

Salah satu film yang sesuai dengan gambaran tersebut adalah Turah (2016) yang mulai tayang di bioskop Indonesia pada 2017. Turah telah mengembara ke berbagai festival. Di antaranya, Singapore Internatio­nal Film Festival 2016 dan 14th Seoul Internatio­nal Agape Film Festival 2017. Sambutanny­a pun luar biasa. Tapi, penontonny­a di bioskop Indonesia hanya mencapai 5 ribuan, menurut ungkapan sang sutradara Wicaksono Wisnu Legowo.

Jika melihat lima besar film Indonesia dengan penonton terbanyak (baca grafis), sebenarnya nggak ada pakem khusus film Indonesia bisa ditonton banyak orang. Sebab, baik sutradara, aktor/aktris, dan genrenya pun berbeda. Ada drama, komedi, dan horor. Jadi, apa sebenarnya yang membuat sebuah film berpeluang diapresias­i dengan baik?

Sutradara Pengabdi Setan (2017) Joko Anwar menyebut bahwa keberhasil­an tersebut adalah proses panjang. Menurut pria kelahiran Medan tersebut, staf perfilman Indonesia memang masih defisit. Tapi, per divisinya kini punya skill yang terus meningkat.

”Semuanya sudah lebih diperhatik­an. Sutradara pun harus menemani proses reading dengan pemeran film, namun nggak semua sutradara tanah air melakukan hal ini,” ujar Joko.

Khusus untuk Pengabdi Setan, Joko mendamping­i Tara Basro dan pemeran lainnya selama empat bulan untuk penghayata­n peran. Totalitas itu harus dilakukan agar para pemerannya maksimal dalam berperan. Di luar tugasnya menggiring talenta menjiwai peran, Joko juga wajib brainstorm­ing dengan produser hingga kru per divisi. Tujuan utamanya tentu agar film yang dilahirkan nggak hanya matang secara teknis, tapi juga tampak estetik.

”Penonton sudah pada pintar karena konten audio visual datang dari mana saja sekarang. Taste penonton berevolusi, kami juga harus lebih rapi dan skillful,” papar Joko.

Optimistis Apresiasi Positif Berlanjut Sementara itu, total ada 130 film Indonesia yang dirilis di layar lebar pada 2017. Jumlah penontonny­a pun mengesanka­n, yakni 44 juta. Fenomena tersebut menurut produser Rapi Film Sunil Samtani bakal semakin menguat.

”Momen Pengabdi Setan kemarin berhasil menutup layar beberapa film Hollywood di bioskop kita. Kita lebih dipriorita­skan karena

demand-nya tinggi,” tutur Sunil.

Optimisme Sunil tersebut disebabkan kualitas dari para pelaku perfilman yang semakin meningkat. Komunikasi pun terus terjalin erat. Salah satunya adalah Asosiasi Produser Film Indonesia (APFI) jadi tempat nongkrong dan diskusi para produser.

”Kita biasa ngumpul sebulan sekali. Saya dari Rapi Film, kemudian perusahaan film yang lain seperti Falcon, Soraya, dan Max suka ngobrol teknis dan delivery film. Jadi, kita bisa saling pantau juga dan evaluasi,” papar Sunil yang mengeyam pendidikan perfilman di University of Southern California, Los Angeles.

Aspek lain yang nggak kalah penting adalah promosi. Sebagus apa pun sebuah film nggak akan laris jika nggak dikenal orang. Untuk Rapi Film, Sunil menyebut biaya promosi bisa menyentuh 60 persen

budget produksi. Jumlah kru pun cukup banyak, yakni di kisaran 100–140 orang untuk film drama atau horor.

Fenomena lain yang bisa menopang optimisme tersebut adalah digandrung­inya film-film dengan konten lokal. Di antaranya,

Uang Panai’ (2016) karya Halim Gani Safia yang kental nuansa Sulawesi Selatan, Siti (2015) karya Eddie Cahyono yang memakai setting Jogjakarta, atau Yowis Ben yang lekat logat Jawa Timuran dalam hampir seluruh dialognya.

Meski angin sudah bertiup ke arah yang positif, industri perfilman Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar, terutama terkait film animasi yang masih kurang nendang. Hingga saat ini, yang cukup populer masih Battle of Surabaya karya animator Aryanto Yuniawan. Film animasi 2D itu juga menyabet penghargaa­n sebagai film terbaik di Milan Internatio­nal Film Maker Festival 2017. (rah/zul/van/kkn)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia