Multikulturalisme yang Tecermin di Pasar
DI atas tumpukan kaus itu, selembar kertas yang di atasnya bertulisan ”harga murah bisa ditawar” berada. Tapi, sang pemilik lapak, Michelline Pheng, justru datang dari Taiwan.
”Banyak pembeli saya dari Indonesia,” katanya.
Tapi, tak hanya ”harga murah bisa ditawar” yang ada di sana. Melainkan empat tulisan lain, dalam empat behasa berbeda, yang artinya sama: harga murah, bisa ditawar.
Ya, selamat datang di Paddy’s Market. Pasar dengan sekitar 1.000 lapak di Sydney itu adalah salah satu tempat terbaik untuk mengenal betapa multikulturalnya Australia.
Para pedagangnya datang dari berbagai latar belakang negara. Begitu pula dengan para pembelinya. ”Di sini semua aman, bersih, saling menghormati meski asalnya dari berbagai negara,” kata Pamela Thiel, perempuan Gunungkidul, Jogjakarta, yang bersuami pria Australia, dan telah tujuh tahun berdagang di sana.
Persis di seberang Paddy’s Market, berdiri gapura penanda bahwa kawasan itu adalah Chinatown. Hanya beberapa kilometer dari sana, berdiri pula Koreatown.
Tak heran kalau kemudian Australia menjadi negara incaran pengungsi dan pencari suaka. Yang belakangan juga merepotkan pemerintah setempat.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott, Australia juga menetapkan kebijakan garis keras untuk mencegah kedatangan imigran. Caranya, antara lain, mengirim mereka ke kamp di negara-negara kecil di sekitar Pasifik.
Tapi, dari lanskap yang demikian multikultural itulah yang perlahan turut membentuk sikap anak-anak muda Australia. Jadi lebih terbuka dan mengenal sekitar.
Sebab, sedari kecil mereka sudah terbiasa menghadapi perbedaan. Berinteraksi dengan teman sekolah dari Vietnam, misalnya. Atau makan siang di restoran Indonesia. Atau juga bermain bersama kawan dari India.
Pamela mencontohkan dua anaknya. Mereka lahir dan besar di Australia dan cuma menguasai beberapa patah kata bahasa Indonesia. ”Tapi, mereka tetap mengenal Indonesia dan sering berkunjung ke sana. Baik bersama saya dan suami maupun sendiri,” katanya.