Jawa Pos

Menumbuh kembangkan Hoegeng-Hoegeng Muda

-

Buku ini mengulik semangat perubahan di internal polisi. Di beberapa bagian, ada identitas dan waktu kejadian yang tak ditulis jelas.

BERTAHUN-TAHUN setelah Gus Dur meninggal, guyonannya tentang polisi, yang mengandung muatan kritik, masih sering dikutip di sanasini. Yakni, cuma ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.

Namun, sayup-sayup ternyata mulai ada gerakan di internal Polri untuk menumbuh kembangkan polisi jujur. Memunculka­n HoegengHoe­geng muda.

Semangat pembenahan di bawah kepemimpin­an Jenderal Tito Karnavian dengan bantuan rekan seangkatan­nya yang menjabat Asisten Sumber Daya Manusia (As SDM) Kapolri Irjen Arief Sulistyant­o itulah yang tergambar di buku ini.

Sebelumnya, upaya pembenahan itu bukannya belum pernah dilakukan. Tapi, belum pula bisa disebut efektif menggempur habis budaya korupsi.

Setidaknya, ada dua ladang As SDM yang kini dibersihka­n: pendidikan kepolisian dan mutasi pejabat. Ada berbagai cara yang ditempuh Arief.

Dari menghentik­an budaya penempatan ’’lahan basah” di Jawa dan Sumatera Utara (Sumut) bagi polisi yang menempuh Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), As SDM dan jajarannya tidak menerima tamu untuk titip, hingga cara yang begitu normatif: disumpah untuk tidak koruptif.

Namun, bukan berarti kebijakank­ebijakan Ari e fit utak menimbulka­n perlawanan. Ada beberapa kalangan, seperti mahasiswa STIK, yang mengingink­an dikembalik­annya penempatan di Jawa dan Sumut.

Kedok sudah tanpa ”nyoto” –istilah untuk memberikan sogokan kepada dosen agar mendapat nilai bagus– digaungkan. Maka, reward tentu harus diberikan. Begitulah alasannya.

Sejauh ini, begitu langka buku yang bisa mengulik begitu dalam di balik baju cokelat seperti buku Arief Effect ini. Terlebih, dalam buku ini ada pengakuan jujur pejabat utama Polri tentang adanya budaya koruptif itu.

Buku ini ditulis Farouk Arnaz, seorang wartawan yang sudah hampir 15 tahun ngeloni Mabes Polri. Arnaz menggambar­kan Arief seperti sosok yang mewarisi ciriciri dan semangat Hoegeng.

Ada banyak drama yang selama ini tidak tampak justru bisa dipanggung­kan ke khalayak ramai melalui buku ini. Salah satunya, bagaimana kasus illegal logging yang terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar). Hingga, rangkaian pencopotan dan pemidanaan terhadap sejumlah polisi di Polda Kalbar.

Arief dalam peluncuran buku ini merasa deg-degan dengan penulisan kinerja SDM oleh Arnaz, wartawan yang dikenalnya kritis dan kerap melontarka­n berbagai pertanyaan tajam. Dia khawatir akan ada temuan yang belum diselesaik­annya.

”Rekrutmen mana lagi yang salah? Bukannya semuanya sudah dibenahi,” ujarnya saat peluncuran.

Dalam buku 187 halaman ini, masih terasa upaya Arnaz untuk mengontrol diri. Namun, keinginann­ya untuk memberikan masukan atas berbagai praktik kotor tidak bisa dielakkan.

Salah satu kekurangan buku ini, tidak memberikan identitas dan waktu kejadian yang pasti. Misalnya, soal adanya dua perwira yang membawa uang ratusan juta masuk sebagai tamu ke gedung utama Mabes Polri. Keduanya diduga akan memberikan setoran kepada seseorang.

Jadi, masih terkesan seperti penulisan hard news. Padahal, penulisan buku tentunya membutuhka­n waktu panjang dengan ditunjang riset mendalam. Fakta-fakta seperti di atas, jika bisa ditulis lengkap, tentu akan menambah kekuatan buku ini.

Atau, bisa jadi penulis memang sengaja menahan diri menuliskan identitas dalam setiap peristiwa. Entah karena tidak ingin menginjak atau menyindir pihak tertentu.

Tapi, apa pun, jelas buku ini sangat layak untuk dibaca. Dari buku ini, kita setidaknya mengetahui bahwa masih ada harapan akan munculnya polisi-polisi jujur berikutnya. Semoga. (*)

 ??  ??
 ??  ??
 ??  ?? ILHAM WANCOKO Wartawan Jawa Pos
ILHAM WANCOKO Wartawan Jawa Pos

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia