Jawa Pos

Karyanya Jadi Logo Sekolah sampai Organisasi Amal

Husada Tsalitsa Mardiansya­h, Calon Dokter Penghobi Kaligrafi

-

Hobi kaligrafi Husada Tsalitsa Mardiansya­h tidak bisa dipandang remeh. Karya-karya mahasiswa fakultas kedokteran tersebut sudah digunakan sebagai logo lembaga. Sebagian pemesannya berasal dari luar negeri.

EDI SUSILO

DENGAN cekatan Husada mengeluark­an buku seukuran kertas folio. Buku itu bersampul putih dengan kaligrafi hijau di tengahnya. Dia membuka satu per satu halaman, menunjukka­n karyakarya­nya. ”Ini portofolio saya,” kata Husada saat ditemui di Museum Caffe, Fakultas Kedokteran Universita­s Airlangga, Rabu (28/3).

Di halaman pertama, ada lima karya Husada yang terpampang. Ada logo SD Tabita Putri. Ada juga kaligrafi indah yang menggunaka­n huruf Arab bertulisan Ulul Azmi. ”Ini sebagian karya saya yang sudah digunakan,” jelas pria kelahiran 4 Maret 1997 itu.

Sebagai mahasiswa S-1 Pendidikan Dokter Unair, kegiatan Husada tidak hanya seputar belajar medis. Dia juga menelurkan banyak karya kaligrafi maupun desain. Sejak dia SMP, karyanya sudah laku terjual. Yang memesan orang luar negeri pula

J

Dia adalah Sjimon René den Hollander, seorang pengajar di Hunter College, New York. Perkenalan Husada dengan dosen pengajar kelas sastra Yahudi itu bermula dari Facebook. Tiga karya Husada dihargai USD 100. ”Rasanya senang sekali,” jelasnya.

Sukses mendapatka­n order itu, Husada makin semangat menekuni seni kaligrafi. Salah satunya dengan mempelajar­i keindahan huruf-huruf selain Arab. Misalnya, alfabet ibrani, huruf sirilik, sampai abjad suryani.

Beberapa kali Husada mendapat pesanan dari luar negeri. Pada 2016 dia diminta membuat logo organisasi kerukunan antarumat Yahudi dan muslim, Institute of Jewish Muslim Action (IJMA) yang berbasis di AS. Tahun lalu dia diminta membuat logo sebuah organisasi amal di Swiss. ”Satu logo dibayar sekitar Rp 800 ribu,” katanya.

Tak semua pesanan berujung manis. Salah satunya, ada pasangan di AS yang meminta dibuatkan monogram inisial nama mereka untuk undangan pernikahan. Kesepakata­nnya dibayar USD 50. Tapi, setelah jadi, mereka bilang hanya mau membayar USD 10. Husada tidak mempermasa­lahkan. Menurut dia, membantu orang yang berbahagia sudah membuat dirinya senang. Selain itu, dia pernah diminta membuat logo, tapi sampai sekarang tidak diambil pemesannya.

Kecintaan Husada pada dunia kaligrafi terasah sejak belia. Sang ayah, Syamsuri, yang berprofesi sebagai guru agama Islam mengenalka­nnya pada huruf Arab, caramembac­a, serta menuliskan­nya. Merasa tertarik, Husada belajar kaligra fi secara otodidak. Bakatnya makin terasah ketika SMP ikut ekstrakuri­kuler kaligrafi.

Husada bergabung dengan beberapa grup pencinta kaligrafi melalui media sosial. Di antaranya, grup pencinta kaligrafi Kufi Murabba yang bermarkas di Malaysia. Husada kerap mengirimka­n karyanya di grup. Ada yang memuji, ada juga yang berkomenta­r pedas. ”Pernah juga dibilang gaya saya ini radikal,” terangnya.

Radikal karena Husada dianggap menabrak pakem yang ada. Kaidah kaligrafi memang tidak mudah. Namun, intinya adalah meski ditulis dengan indah, karya tersebut harus tetap bisa terbaca. Di dunia seni kaligrafi, ada bermacam gaya penulisan. Husada mengatakan, banyak pakem yang juga belum dikuasainy­a. Karena itu, meski karyanya sudah mampu menghasilk­an pemasukan, dia lebih suka menyebut dirinya sebagai penghobi kaligrafi ketimbang seniman.

Di sela jam kuliah, hingga kini Husada masih melayani order. Ada yang meminta dibuatkan inisial nama untuk pigura hadiah wisuda. Ada juga yang memesan untuk tulisan stempel. ”Semua dilayani dengan harga yang bersahabat,” katanya, lalu tersenyum.

 ?? EDI SUSILO/JAWA POS ?? SEJAK KECIL: Husada Tsalitsa Mardiansya­h menunjukka­n karya-karya kaligrafin­ya.
EDI SUSILO/JAWA POS SEJAK KECIL: Husada Tsalitsa Mardiansya­h menunjukka­n karya-karya kaligrafin­ya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia