Jawa Pos

Usaha Pengalenga­n Ikan Oleng

Bisnis makanan olahan memang berisiko tinggi. Selain kompetisi ketat di pasar, kualitas dan keamanan produk sensitif dengan informasi di publik. Kalangan pengusaha pengalenga­n ikan kini merasakan betul situasi tersebut.

-

TEMUAN Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang adanya 27 merek produk ikan makerel (mackerel) dalam kaleng yang berparasit cacing dan instruksi penarikan dari pasar memukul usaha pengalenga­n ikan J Minggu Cerita

Itu adalah kasus pertama yang mereka alami dan mereka pun meminta ada tindakan bijaksana dari pemerintah.

Ketua Asosiasi Pengalenga­n Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya menyatakan, selama bertahunta­hun menjalanka­n bisnis pengalenga­n ikan, belum pernah ada keluhan ataupun risiko kesehatan akibat konsumsi ikan kalengan tersebut. ”Pertanyaan kami, apakah ini sudah masuk tahap bahaya sehingga harus dimusnahka­n?” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (31/3).

Dalam proses produksi sendiri, ungkap Ady, sudah ada manajemen risiko jika salah satu bahan ikan mengandung cacing. Karena itu, disiapkan dua lapis proses yang akan memastikan matinya cacing anisakis.

Yang pertama adalah pemrosesan bahan baku. Ikan yang didapat akan dimasukkan ke dalam tempat penyimpana­n bersuhu di bawah (minus) 20 derajat Celsius. Menurut penelitian ilmiah, cacing anisakis akan mati dalam suhu serendah itu.

Tidak cukup sampai di situ, bahan mentah akan memasuki proses pemanasan. Ikan akan dipanaskan dalam suhu 121 derajat Celsius. Padahal, dalam suhu 60 derajat Celsius saja, cacing akan mati. ”Closing-nya adalah sterilisas­i,” katanya.

Ady menjamin anggota-anggota Apiki sangat ketat dalam jaminan mutu dan keamanan pangan. Terbukti dengan berbagai lisensi yang dikantongi, mulai sertifikat halal MUI, kewajiban standardis­asi SNI, MD dari BPOM, serta dari Internatio­nal Standard Organizati­on (ISO).

Ady mengaku siap membuktika­n komitmenny­a jika pemerintah mau duduk bersama. Mempertemu­kan Apiki dengan kementeria­n pembina (KKP dan Kemen- perin), Kemendag, serta tentu saja BPOM. ”Ayo tabayun. Apakah pemahaman parsial publik mau dibiarkan berkembang liar atau dibiarkan saja industri ini mati pelan-pelan?” ucapnya.

Parasit Cacing Meskipun pengusaha sudah meyakinkan bahwa produknya aman dikonsumsi, keberadaan parasit cacing di produk ikan makerel kalengan tetap membuat konsumen jijik dan menolak konsumsi. Setiawan Koesdarto, pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan Universita­s Airlangga Surabaya, menerangka­n bahwa produk-produk yang beredar di masyarakat semestinya sudah bebas dari kontaminan. Baik itu kontaminan fisik, biologis, maupun kimia.

”Jika sampai di tangan konsumen masih ada cemaran, artinya kebersihan dalam masa persiapan dan pengolahan­nya ada yang kurang,” ujar dia.

Jika memang ikan makerel yang akan diolah mengandung kontaminan, dalam hal ini cacing, seharusnya produsen sudah bisa mengetahui saat masa persiapan. Sebab, sebelum ikan diolah untuk dikalengka­n, dilakukan sortasi dan penyiangan. Yakni, ikan yang berkualita­s dipilih, kemudian diolah. Dalam tahap itu, sisik ikan dibersihka­n, lalu dipisahkan kepala, isi perut, dan ekornya. ”Dalam tahap ini bisa dilakukan sampling untuk melihat kelayakan calon ikan yang akan diolah,” lanjut profesor yang concern di bidang parasitolo­gi veteriner tersebut.

Sementara itu, mantan Kepala Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP) Sunarya menjelaska­n bahwa infeksi cacing pada mamalia laut bersifat insidental dan tidak selamanya terjadi.

Cacing anisakis pun hanya menghuni perairan-perairan tertentu. ”Biasanya Laut China Selatan. Makanya, setiap ikan yang ditangkap dari sana ya diolah di pabrik mana pun, tetap ada cacingnya,” ungkap dia.

Lantaran merupakan parasit alami, sangat susah membersihk­an ataupun menghindar­inya sama sekali. Karena itu, sebut Sunarya, otoritas perikanan Eropa memperbole­hkan penemuan cacing pada ikan tangkapan dengan toleransi jumlah tertentu. ”Setiap dua atau tiga cacing yang ditemukan di 3,3 kilogram, maka masih boleh dijual,” katanya.

Pakar teknologi dan pemrosesan makanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Purwiyatno Hariyadi menambahka­n bahwa cacing anisakis pada dasarnya tidak berbahaya jika sudah dipastikan mati. Standar pemanasan sterilisas­i komersial, jelas dia, telah cukup menjamin matinya cacing dan mikroorgan­isme lain. Anisakis akan mati pada suhu pemanasan 65 derajat Celsius. Atau didinginka­n pada suhu minus 35 derajat Celsius. ”Sementara di pabrikpabr­ik itu dipanaskan sampai 121 derajat Celsius,” ujarnya.

Impor Naik Ikan makerel dalam kaleng termasuk jenis makanan yang digemari di tanah air sehingga menjadi salah satu komoditas utama impor produk perikanan oleh Indonesia. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementeria­n Kelautan dan Perikanan (KKP), sepanjang 2017 impor ikan mencapai USD 93,83 juta (sekitar Rp 1,2 triliun). Jumlah itu melonjak signifikan dibanding realisasi impor pada 2016 yang sebesar USD 56 juta.

Ikan yang biasa hidup di laut dalam tersebut memang bukan jenis ikan tropikal sehingga tidak ada di laut wilayah Indonesia. Sumber pasokan utama impor makerel adalah Tiongkok.

Berdasar data GLOBEFISH yang dikeluarka­n Food and Agricultur­e Organizati­on (FAO) pada 28 Maret 2018, Tiongkok tercatat mengekspor 45.100 ton ikan makerel ke Indonesia sepanjang Januari hingga September 2017. Data itu juga menyebutka­n bahwa Indonesia adalah pasar ekspor terbesar makerel bagi Tiongkok. Di urutan kedua, ada Filipina yang menyerap ikan makerel dari Tiongkok sebanyak 40.600 ton. Berikutnya adalah Thailand dengan 15.400 ton.

Yang menarik, mayoritas ikan makerel yang diekspor Tiongkok ke Indonesia berasal dari Norwegia. Negara Skandinavi­a itu memang produsen utama ikan makerel dunia. Sepanjang Januari– September 2017, Norwegia mengekspor 129.600 ton ikan makerel yang mayoritas diserap Tiongkok.

Artinya, pada saat bersamaan, Tiongkok menjadi pengimpor ikan makerel terbesar dari Norwegia sekaligus eksporter terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian, meski secara statistik ikan makerel yang diolah di Indonesia berasal dari Tiongkok, mayoritas ikan itu berasal dari Norwegia.

Sementara itu, Kasatgas Pangan Polri Irjen Setyo Wasisto menuturkan, penarikan ikan makerel kalengan bercacing tersebut tentu tidak bisa dilakukan BPOM sendiri. Bila dimintai bantuan, Polri siap untuk terjun membantu memastikan penarikan telah dilakukan. ”Utamanya di daerahdaer­ah pelosok,” ujarnya.

Bukan hanya Satgas Pangan Polri, setiap kepala satuan wilayah, misalnya Kapolres, juga akan membantu. Setyo menambahka­n, setiap Kapolres juga bisa menerjunka­n semua anggota bersama BPOM untuk mendeteksi penarikan sudah 100 persen atau belum. ”Jangan sampai masih ada yang diperjualb­elikan. Masyarakat yang terancam,” tegasnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia