Antara Seni dan Disabilitas
Oleh HENDROMASTO PRASETYO
SINGAPURA baru saja menyelenggarakan konferensi dan festival tentang seni dan disabilitas yang diklaim terbesar di Asia-Pasifik. Acara bertajuk Arts and Disability International Conference (ADIC) 2018 dan True Colours Festival itu berlangsung pada 22–26 Maret 2018. Acara tersebut disajikan oleh Nippon Foundation, Dewan Kesenian Nasional Singapura, UNESCO, dan Very Special Arts (VSA) Singapura.
Pada dua hari pertama, konferensi digelar di dua tempat yang berbeda. Hari pertama di Marina Sands Expo, sedangkan hari kedua di Enabling Village yang tak jauh dari kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Sementara itu, True Colours Festival diadakan malam hari kedua. Festival yang menghadirkan sekitar 150 seniman difabel dari berbagai negara itu berlangsung di kompleks Singapore Sports Hub.
Indonesia diwakili Tiara Brahmani, pegiat kelompok tari inklusi Nalitari dari Jogjakarta, serta pendamping jiwa anak dan remaja Rumah Sakit Jiwa Lawang, Jatim, Anggi Ernata. Hadir pula Faisal Rusdi dari Association of Mouth and Foot Painting Artist, organisasi internasional para pelukis yang menggunakan kaki dan mulut untuk berkarya di atas kanvas. Tampak pula kurator Galeri Nasional Indonesia Sujud Dartanto.
Jalannya konferensi lebih mirip dengan seminar. Tak ada forum yang memberikan informasi tentang situasi seni dan disabilitas, seturut tema konferensi. Yang ada hanyalah pemaparan pengalaman Direktur Artistik Raspberry Ripple Productions (Australia) Kate Hood dan Direktur Slow Label (Jepang) Kris Yoshie.
Seusai pemaparan dua pembicara kunci, konferensi berlanjut dengan dua diskusi kelompok. Kelompok pertama dengan narasumber Justin Lee, peneliti dari Institut Studi Kebijakan Universitas Nasional Singapura; Direktur Artistik Sekolah Musik Drake Pete Sparkes dari Skotlandia; pianis Singapura Azariah Tan; Sokny Onn dan Buntheng Ou dari Epic Arts Kamboja; serta Direktur No Strings Attached Alirio Zavarce dari Australia.
Kelompok kedua dengan narasumber direktur pendidikan berkebutuhan khusus Kementerian Pendidikan Singapura, Wong Meng Ee dari Departemen Pendidikan Usia Dini dan Berkebutuhan Khusus Institut Nasional Singapura, Lisa Goh dari Sekolah Grade Orchard Singapura, Faridah Ali dari Rainbow Center Training, dan praktisi drama Michael Cheng. Tak berbeda dengan suasana konferensi, kedua diskusi lebih banyak menjadi arena berbagi pengalaman dan pengetahuan semata.
True Colours Festival yang digelar seusai konferensi menghadirkan para seniman difabel dari berbagai negara. Mereka tampil di panggung terbuka depan pusat olahraga Singapura. Para seniman umumnya menampilkan seni musik, menyanyi, dan menari. Selain menikmati atraksi seni, para pengunjung ramai memadati tendatenda komunitas disabilitas Singapura.
Sementara itu, di ruang tertutup berlangsung pameran lukisan karya para difabel setempat. Malam harinya, True Colours Festival memuncak dengan pertunjukan di dalam stadion tertutup. Berturut-turut tampil para seniman lintas bangsa di depan seribuan penonton.
Ada duet tari penderita tunadaksa Ma Li dan Zhau Xiaowei dari Tiongkok, penyanyi tunanetra dari Filipina Alienette Coldfire yang pernah mencuri perhatian di ajang France’s Got Talent 2016, Tony Dee (Australia), Adrian Yunan (Indonesia), pemain biola tunanetra Yusuke Anazawa (Jepang), Adrian Anantawan (Kanada), orkes musik digital Drake Music (Skotlandia), dan banyak lagi lainnya.
Di antara penonton, tampak Presiden Singapura Halimah Yacob yang berbaur dengan para difabel. Dia terlihat santai menikmati berbagai suguhan seni dari para seniman difabel. Tak ada protokoler yang ketat untuk mengamankan sang presiden. Halimah juga tidak memberikan sambutan. Dia hanya naik panggung ketika acara berakhir untuk mengucapkan selamat kepada para penampil, lalu berfoto bersama.
Serangkaian kegiatan konferensi dan festival itu menyampaikan pesan tentang bagaimana disabilitas dan seni mesti diletakkan dalam ranah apresiasi karya yang jujur. Sama sekali bukan sebuah arena apresiasi filantropi yang kerap mengandung ”racun” berupa iba dan belas kasihan kepada penciptanya yang memiliki kekurangan fisik.
Di sisi lain, harus ada ekosistem yang mendukung penyandang disabilitas untuk memimpin, minimal untuk diri sendiri, di tengah arena kesenian kini dengan karyakarya mengejutkan. Bukan sekadar menyanyikan lagu karaoke atau musik orang lain. Pada soal itu, kerja-kerja kolaborasi yang inklusif dengan seniman nondifabel sangat mungkin menjangkaunya.
Dalam konteks Indonesia, sebenarnya begitu terbuka. Indonesia punya Ananda Sukarlan, difabel sindrom asperger. Ada pula penyandang disabilitas netra Ade Irawan yang piawai dengan piano di ranah jazz. Lalu, ada Hanna Madnes, seniman dengan bipolar, yang diam-diam tengah menyiapkan karya bersama perupa The Vacuum Cleaner dari Inggris.
Ada juga Dwi Putro Mulyono alias Pakwi (Jogjakarta) yang goresannya pada kanvas pernah hadir dalam Jakarta Biennale 2017. Dari seni peran, ada penyandang disabilitas netra dalam Distra, juga dari Jogjakarta, yang menekuni seni ketoprak sebagai ekspresi keseniannya.
Di sisi lain, Indonesia juga punya potensi besar kerja kolaborasi inklusif antara difabel dan seniman nondifabel. Apa yang disajikan Joned Suryatmoko (Jogjakarta) dan temantemannya dalam Margi Wuta (2013), Margi Wuta #2 (2015), dan Justru karena Difabel Aku Harus Bekerja! (2018) menunjukkan kolaborasi inklusif di ranah teater yang punya kekuatan yang tak melulu drama.
Di seni tari modern, ada penyandang disabilitas daksa Arif Setyo Budi dari BBoy Onelegz (Malang) yang mahir break dance. Di ranah sastra, ada komunitas Pawon yang menjangkau ekspresi sastra disabilitas di Solo.
ADIC 2018 dan True Colours Festival juga memberi pesan perlunya arena bersama karya-karya seni penyandang disabilitas di Indonesia. Sampai hari ini, arena semacam itu sering berlangsung sangat sektoral. Penyandang disabilitas mental punya festival seni, penyandang disabilitas daksa juga demikian, begitu pula penyandang disabilitas lainnya. Acara-acara festival seni di sekitar Hari Disabilitas Nasional juga kerap berhenti sebagai panggung ekspresi disabilitas semata tanpa menghasilkan karya-karya yang mengejutkan.
Sudah waktunya Indonesia punya arena bersama yang mampu menjadi pertemuan antara karya difabel dan apresiasi dari publik sebagaimana mestinya. Tanpa iba, belas kasihan, dan sejenisnya. Semoga saja Festival Bebas Batas yang tengah disiapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Oktober mendatang mampu memenuhi harapan itu. (*)
Hendromasto Prasetyo, peserta ADIC 2018 dan True Colours Festival di Singapura. Mewakili delegasi British Council Indonesia sebagai pegiat art brut Indonesia.