Investasi Rugi, Kejagung Sangka Karen Korupsi
Kasus Blok Migas di Australia Lebih Pas dengan UU PT
JAKARTA – Sudah hampir empat tahun Karen Galaila Agustiawan mundur dari jabatan Dirut Pertamina. Namun, masa empat tahun itu tak membuat Karen yang pernah masuk daftar 50 perempuan paling berpengaruh (50 Most Powerful Women) versi majalah Fortune menikmati masa pensiun dengan tenang.
Sebuah pengumuman dari Kejaksaan Agung kemarin tak hanya mengagetkan Karen, tetapi juga publik pemerhati bisnis di Indonesia serta seluruh pelaku usaha sektor migas
Dalam pengumuman tertulis yang disebar ke media itu disebutkan, Karen ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan korupsi investasi PT Pertamina (Persero) di Blok Basker Manta Gummy (BMG). Kasus yang terjadi sembilan tahun lalu atau tepatnya pada 2009 itu, menurut Kejagung, merugikan keuangan negara lebih dari setengah triliun rupiah atau Rp 568 miliar.
Dalam keterangan tertulis, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M. Rum menyatakan, kasus itu bermula saat Pertamina melakukan investasi non-rutin berupa akuisisi 10 persen hak partisipasi (participating interest/PI) milik ROC Oil Ltd di Blok Migas Basker Manta Gummy (BMG), Australia. Akuisisi itu dilakukan anak usaha Pertamina, yakni PT Pertamina Hulu Energi (PHE).
Untuk menguasai 10 persen PI tersebut, Pertamina pun menandatangani kontrak Agreement for Sale and Purchase-BMG Project pada 27 Mei 2009. Dari kontrak itu, Rum mengungkapkan, Pertamina mengeluarkan dana USD 31,5 juta serta biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) sejumlah 26,8 juta dolar Australia.
Dari akuisisi Blok BMG itu, Pertamina berharap memperoleh 812 barel minyak per hari. Namun, harapan tinggal harapan. Ternyata Blok BMG hanya dapat menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pty Ltd rata-rata 252 barel per hari.
Bahkan, pada 5 November 2010, Blok BMG Australia dinyatakan ditutup oleh ROC Oil Ltd. Mereka beralasan, produksi minyak mentah (non production phase/ npp) dihentikan karena lapangan tersebut tidak ekonomis.
Kejagung menilai, dalam pelaksanaan investasi itu, ditemukan dugaan penyimpangan dalam pengusulan investasi yang tidak sesuai dengan pedoman investasi. Misalnya, keputusan investasi tanpa adanya kajian kelayakan yang lengkap alias ”final due diligence”. Juga, tanpa adanya persetujuan dari dewan komisaris.
Dalam kasus kerugian investasi itu, bukan hanya Karen yang ditetapkan sebagai tersangka. Kejagung juga menetapkan status tersangka kepada dua mantan pejabat Pertamina lain pada masa kepepimpinan Karen. Yakni, mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederik Siahaan dan Chief Legal Counsel and Compliance Genades Panjaitan.
Dengan demikian, total tersangka dalam kasus tersebut menjadi empat orang. Sebelumnya Kejagung menetapkan BK (mantan manager merger and acquisition Direktorat Hulu PT Pertamina) sebagai tersangka pada 23 Januari 2018. Jumlah saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut mencapai 67 orang.
Bikin Takut BUMN Penetapan status tersangka terhadap Karen bisa membuat pelaku bisnis di BUMN ketirketir. Sebab, keputusan investasi yang dibuat Karen dan direksi Pertamina saat itu merupakan tindakan bisnis biasa yang berpotensi ke dua kemungkinan, jika tidak untung, ya rugi.
Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Richo Andi Wibowo menilai, langkah Kejaksaan Agung yang menetapkan mantan petinggi Pertamina sebagai tersangka tidaklah tepat. ”Ini kan murni bisnis, tindakan korporasi,” ujarnya saat dihubungi tadi malam.
Menurut Richo, jika memang Karen dan petinggi Pertamina lainnya dianggap tidak berhatihati dalam pengambilan keputusan sehingga mengakibatkan kerugian bagi perseroan, cara menghukumnya bukan dengan pasal pidana. Tetapi, dengan pasal 97 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT).
Dalam UU PT, tepatnya di pasal 97, disebutkan, direksi tidak dapat dituntut pertanggungjawaban secara pribadi jika dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan akibat kesalahan atau kelalaiannya. Lalu, telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Berikutnya, tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung ataupun tidak langsung, atas tindakan yang mengakibatkan kerugian. Serta telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Menurut Richo, kasus itu memang lebih pas jika ditangani dengan pendekatan bisnis, bukan pidana korupsi. Dia menyatakan, langkah Kejagung tersebut berpotensi membuat blunder. ”Nanti BUMN kita akan takut mengambil langkah bisnis karena takut dianggap merugikan keuangan negara,” ujar dia.
Akibatnya, lanjut Richo, situasi dan kondisi di BUMN bisa mirip seperti di birokrasi yang sering bergerak lamban karena tidak berani mengambil keputusan. ”Jadi, kejaksaan jangan menular- kan ketakutan yang ada di birokrasi ke BUMN,” tuturnya.
Menurut Richo, saat ini publik bisa menilai. Jika memang ada pejabat yang salah, ya bukan masalah jika diproses secara hukum. Tetapi, prosesnya harus proporsional. ”Kalau salahnya adalah kesalahan berinvestasi, ya harus demikian juga bunyinya. Begitu juga kalau salahnya administrasi, jangan kemudian disebut korupsi,” tegas dia.
Saat dikonfirmasi soal ketidaktepatan perlakuan hukum itu, pejabat-pejabat Kejagung tidak merespons. Direktur Penyidikan Jampidus Warih Sadono tidak membalas telepon, SMS, maupun WA Jawa Pos. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisma saat dicegat juga tidak menjawab.
Sementara itu, pihak Pertamina melalui Vice President Corporate Communication Adiatma Sardjito mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. ”Saya detailnya belum tahu. Tetapi, nanti sebaiknya proses hukum yang berjalan bisa diikuti,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos tadi malam.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulana menerangkan, penetapan status tersangka merupakan wewenang kejaksaan dalam pemeriksaan. ”Ada nalar hukum yang bekerja. Karena sifatnya korporasi, jadinya Bu Karen memiliki andil dalam kasus itu.”