Jawa Pos

Gubernur BI dan Tren Solo Connection

- ABDUL MONGID*

SEBAGAIMAN­A sudah diduga, Perry Warjiyo akhirnya ditetapkan DPR sebagai gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2018–2023. Selain memiliki track record kerja di BI yang bagus dengan jabatan terakhir deputi gubernur, dengan pendidikan yang tinggi doktor ekonomi (PhD), beliau terkenal sebagai pribadi ’’low profile high product’.’ Ditambah faktor ’’dekat Solo’,’ proses itu lancar jaya. Dengan sosok Perry yang lahir di Sukoharjo, hanya 30 menit dari Kota Solo, secara psikologis Presiden Jokowi merasa lebih nyaman.

Pada saat bersamaan, mantan juru bicara BI Dody Budi Waluyo ditetapkan sebagai deputi gubernur BI pada rapat paripurna yang sama. Lengkap sudah penguasaan ’’Solo connection’’ dalam dunia keuangan kita. Sebagaiman­a diketahui, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso juga lahir di Solo.

Banyak Tantangan Gubernur BI tentu paham apa tugas tunggal yang diembannya. BI punya satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Kita menyaksika­n bagaimana pada 2008 USD 1 hanya perlu ditukar dengan Rp 9.200. Sejak akhir 2010, rupiah terus terdepresi­asi bahkan hampir Rp 15.000 pada 2012. Saat gubernur BI ditetapkan DPR, rupiah menjadi Rp 13.764 per USD.

Tren pelemahan terus terjadi sehingga memberikan sinyal serius bahwa optimisme kita terhadap pimpinan baru BI tidak diikuti ekspektasi pasar yang positif. Atau, bisa jadi ekspektasi pasar lebih buruk, tetapi penurunann­ya menjadi lebih rendah karena nakhoda BI kredibel. Mana yang benar? Kita tidak tahu.

BI berwenang menentukan tujuan menjaga stabilitas rupiah. BI memiliki tiga senjata. Yaitu, menetapkan dan melaksanak­an kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur kebijakan makroprude­nsial. Dengan kondisi riil yang ada, pencapaian BI saat ini masih di bawah target. Nilai rupiah belum stabil. Pada saat tertentu, inflasi sektor properti sangat tinggi dan sekarang menurun drastis karena unsur spekulasi. Demikian pula harga beras.

Jajaran BI harus menyadari, Indonesia termasuk negara dengan ekonomi kecil dan terbuka (small and open economy). Artinya, dalam percaturan ekonomi global, kita terbawa arus yang diibaratka­n suwargo nunut neroko kathut. Karena itu, meski bersekolah di AS, nakhoda BI harus sadar bahwa AS bukanlah sahabat sejati. Selalu ada pengkhiana­tan dan egoisme. Kebijakan penghapusa­n emas sebagai standar mata uang global dan kebijakan bantuan likuiditas ke lembaga keuangan AS saat krisis keuangan global 2008 mengakibat­kan pencetakan uang hampir USD 1 triliun yang akhirnya beredar ke semua negara merupakan satu contoh belaka.

Kebijakan menaikkan suku bunga yang perlahan-lahan dan tidak pasti telah menimbulka­n ketidakpas­tian ekonomi global, termasuk Indonesia. Yang terakhir adalah perang dagang yang dikobarkan Presiden Trump. Artinya, semua lembaga yang dikendalik­an AS, termasuk IMF dan Bank Dunia, hanya tunduk pada kepentinga­n nasional AS.

Di tengah ketidakpas­tian kebijakan ekonomi AS pada era Trump, kenaikan harga minyak, dan potensi konflik militer di Timur Tengah, menjadi gubernur BI bukan pekerjaan yang mudah. Akan banyak mata yang melihat ke BI ketika rupiah merosot.

Solo Connection Namun, menyatunya OJK dan BI dengan ikatan ’’Solo connection’’ akan memudahkan koordinasi dan rencana aksi bersama. Presiden bisa lebih memiliki pengaruh ke BI agar kebijakan moneter diarahkan sesuai dengan visi presiden, yaitu suku bunga rendah. Selama ini, ada kesan BI berjalan sendiri dan cenderung mengabaika­n presiden. Mungkin karena gubernur BI sebelumnya dipilih pada era SBY.

Masih banyak hal yang harus dibenahi BI, terutama sistem pembayaran. Kejadian matinya ribuan ATM di Indonesia karena gangguan satelit pada Agustus 2017 menunjukka­n adanya kesalahan peran BI sebagai otoritas sistem pembayaran nasional. Itu seharusnya tidak dipandang sebagai masalah BCA hanya karena 5.000 ATM ngadat. Juga bukan masalah Bank Mandiri karena 2.000 ATM-nya gagal berfungsi.

Itu adalah masalah tidak andalnya (reliabilit­y) sistem pembayaran nasional. Respons BI saat itu di luar ekspektasi. Tidak ada penjelasan dan rencana aksi BI atas masalah tersebut. Apalagi permintaan maaf. Terakhir, kasus pembobolan ATM beberapa waktu lalu. Artinya, sebagai otoritas sistem pembayaran, mendorong dan menciptaka­n sistem yang andal serta aman harus menjadi prioritas.

Rencanamew­ujudkanred­enominasi sebagai janji perlu dipercepat walaupun tidak berarti grusa-grusu. Sudah saatnya kita mengarah pada penghilang­an ’’tiga nol’’ dalam mata uang kita. Publik sebenarnya sudah merespons rencana BI itu lebih riil dengan menulis harga di restoran Rp 15 untuk Rp 15.000.

Namun, perlu diingatkan bahwa redenomina­si memerlukan kedisiplin­an operasi moneter. BI perlu membatasi pencetakan uang kartal karena akhirnya membuat ekspektasi inflasi makin tinggi. Mari kita bernostalg­ia pada 1970. Saat itu 1 ringgit Malaysia senilai Rp 2,5. Sekarang berapa 1 ringgit dalam rupiah? Rp 3.550. Artinya, nilai uang kita dibandingk­an ringgit tinggal 0,0007 atau nilai ringgit naik 1.420 kali.

Karena itu, tidak salah kalau para buruh kita lebih suka mendulang ringgit di Malaysia daripada mendulang rupiah dengan bekerja di negeri sendiri.

Kegagalan kita mengelola nilai tukar menjerumus­kan kita menjadi bangsa terjajah. BI harus mulai membatasi pencetakan­uang.Proyeksipe­rtumbuhan ekonomi sebagai informasi untuk mencetak uang sangat buruk. Rakyatlah yang akan menanggung kebijakan BI, yaitu hidup semakin susah.

BI perlu membuat cadangan emas untuk setiap rupiah yang dicetak. Inilah wujud ekonomi syariah yang sebenarnya sesuai dengan janji Perry Warjiyo. Uang adalah inti sari ekonomi syariah dalam perspektif bank sentral. Mari kita berhijrah dari uang kertas ke uang komoditas. *) Dosen STIE Perbanas Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia