Mendesak, UU Data Pribadi
Rancangan Dibahas sejak 2014, Kini Belum Masuk Prolegnas
JAKARTA – Munculnya kasus 1 nomor induk kependudukan (NIK) digunakan untuk mendaftarkan 2,2 juta nomor ponsel menunjukkan betapa mendesaknya undang-undang (UU) perlindungan data pribadi. Sayang, meski dibahas sejak 2014, hingga kini rancangannya belum masuk prolegnas.
RUU perlindungan data pribadi masih berkutat di meja kementerian
Kini masih tahap sinkronisasi lintas kementerian atau lembaga.
Penerapan aturan registrasi nomor ponsel tahun lalu sempat diminta untuk menunggu UU perlindungan data pribadi itu. Banyak pihak menuntut hal tersebut. Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ngeyel untuk menjalankan aturan tersebut akhir tahun lalu. Menkominfo Rudiantara menerbitkan peraturan menteri sebagai payung hukum. Yaitu, Permen Nomor 14 Tahun 2017.
Kenyataannya, kini proses itu amburadul. Data bocor begitu banyak. Parahnya, data bocor terjadi pada banyak operator. Bahkan, ada kasus satu NIK digunakan untuk mendaftarkan 2,2 juta nomor Indosat. Di Telkomsel, operator yang selama ini dianggap terbesar dan terbaik di tanah air, ditemukan beberapa NIK digunakan untuk mendaftarkan ratusan nomor ponsel.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan, kasus satu NIK mempunyai jutaan nomor ponsel bukan sesuatu yang sepele. ”Penggunaan satu NIK untuk registrasi jutaan nomor ponsel prabayar merupakan hal serius yang harus dicegah agar tak berulang,” kata Bamsoet –sapaannya– kemarin.
Menurut dia, salah satu cara untuk mencegah kasus tersebut terulang adalah legislasi atau penyusunan undang-undang data pribadi. Dia pun meminta pemerintah segera mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) perlindungan data pribadi. RUU itu bisa dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas sehingga bisa secepatnya dibahas. Sebab, kasus penyalahgunaan dan kebocoran data semakin sering terjadi.
Politikus Partai Golkar itu menyatakan, Kemenkominfo tidak boleh membiarkan persoalan tersebut berlarut-larut. Harus ada tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah krusial itu. ”Kemenkominfo bisa melakukan penyelidikan dan mencari solusi,” tutur Bamsoet.
Staf ahli bidang komunikasi dan media massaKemenkominfo Prof Henri Subiakto mengungkapkan RUU perlindungan data pribadi belum masuk prolegnas tahun ini. ”Antrean masih banyak. Mungkin sampai 2019,” katanya.
Ketua Cyber Law Center Sinta Dewi menyatakan, Indonesia sudah saatnya memiliki undangundang perlindungan data pribadi. Dia berharap undang-undang tersebut mengatur mekanisme atau cara pengumpulan data pribadi dan sanksi-sanksi jika tidak bisa menjaga keamanannya.
”Data-data pribadi diperoleh dari identitas kependudukan, khususnya KTP yang sudah berbasis elektronik. Juga registrasi SIM card untuk penggunaan telepon seluler,” tutur Sinta. Cara pengumpulan data seperti itu harus diwaspadai. Selain itu, data harus dijaga dengan baik.
Sinta sangat mengecam sharing data untuk kepentingan bisnis. Seharusnya, ketika data seseorang digunakan, yang bersangkutan diberi tahu. Juga, harus ada izin dari orang tersebut.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyampaikan, penyalahgunaan NIK untuk registrasi nomor ponsel tidak lepas dari tanggung jawab operator atau provider ponsel di tanah air. Sebab, provider merupakan pintu pertama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Termasuk saat para pengguna ponsel meregistrasikan nomor mereka. ”Dukcapil hanya menerima dan melihat data dari provider,” ungkapnya kemarin.
Menurut Pratama, provider
seharusnya mengetahui setiap registrasi yang dilakukan pengguna ponsel. Mereka juga pasti tahu apabila satu NIK dan KK digunakan lebih dari satu nomor. Apalagi jika digunakan untuk meregistrasikan jutaan nomor. ”Tidak mungkin mereka (provider, Red) tidak tahu,” jelasnya. Dengan kondisi itu, seharusnya pemerintah bisa lebih tegas kepada provider.
Kemenkominfo yang bertugas menggawangi program registrasi kartu, menurut Pratama, tidak boleh abai terhadap data yang dipaparkan Ditjen Dukcapil Kemendagri dua hari lalu (9/4). Sebab, bukan hanya satu provider
yang menerima registrasi yang menyalahi aturan. ”Tidak tertutup kemungkinan pendaftaran ratusan ribu nomor dengan satu NIK dan KK itu dilakukan dengan sengaja,” papar dia.
Pria yang pernah bertugas di Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) itu menyampaikan, kemungkinan tersebut terbuka untuk menjual nomor ponsel prabayar yang telanjur didistribusikan sampai penjual ritel. ”Namun, itu tidak bisa menjadi pembenar. Bahkan, itu juga melanggar UU ITE pasal 30 dan 32,” tegasnya. ”Itu baru satu masalah. Bisa jadi NIK dan KK orang yang sudah meninggal juga didaftarkan,” tambahnya.
Karena itu, pemerintah tidak boleh tinggal diam. Sebab, dia menilai, akan sangat berbahaya jika program registrasi nomor ponsel terus bermasalah. Oknumoknum tertentu masih bisa memanfaatkan nomor ponsel untuk melakukan tindak kejahatan. Mulai penipuan sampai pemerasan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan keamanan nasional terganggu. Mengingat, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah memiliki nomor ponsel.
Lebih dari itu, juga ada potensi merosotnya kepercayaan masyarakat jika program registrasi nomor ponsel tidak segera lepas dari masalah. Mereka bisa saja berpandangan bahwa program tersebut dilaksanakan seadanya. Tanpa diseriusi pemerintah. ”Jangan sampai muncul pendapat di masyarakat program registrasi nomor prabayar itu sebagai program gagal dan tidak ada manfaatnya,” bebernya.
Pratama juga menyampaikan, tindakan tegas bisa dilakukan pemerintah dengan mendalami indikasi pelanggaran yang sudah tampak. ”Kominfo dan Polri bisa memeriksa lebih lanjut siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas penyalahgunaan (NIK) itu,” kata dia. Selain sebagai salah satu langkah tegas, tindakan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal serupa terjadi di kemudian hari.