Berawal pada 1959 saat Datang Penjual dari Solo
Kampung Jamu di Kauman, Kelurahan Kampungdalem
Namanya Lingkungan Kauman. Letaknya di Kelurahan Kampungdalem. Lingkungan itu dikenal dengan banyaknya warga yang berjualan jamu keliling.
LOKASINYA di tengah kota. Rumahrumah warganya tersebar di beberapa gang yang amat padat. Berada di tepi Sungai Brantas.
Di lingkungan itu terdapat lima rukun tetangga (RT). Jumlahnya mencapai 270 kepala keluarga (KK). Tergabung dalam satu rukun warga (RW). Namanya RW 02. Yang membuat khas, mayoritas pekerjaan penghuninya adalah penjual jamu keliling.
”Uakeh, Mbak, lek bakul jamu ider nek kene (Banyak sekali, Mbak, kalau pedagang jamu keliling di sini),” ujar Titik Sihwiyati, 57.
Titik adalah istri ketua RT 04 RW 02. Dia memang bukan penjual jamu. Tapi, sebagai istri ketua RT, dia sangat tahu siapa saja warganya yang berjualan jamu.
Dari keterangan Titik pula diketahui, berjualan jamu di Kauman menjadi pekerjaan dari generasi ke generasi. Sekarang saja ada pedagang generasi baru dan generasi lama. Sebagian sudah ”pensiun” karena usia lanjut.
Menurut Titik, cerita tentang Kauman yang dihuni para penjual jamu berawal pada 1959. Ketika Mbah Suwandi datang ke tempat itu. Lelaki yang kini sudah meninggal dunia tersebut merupakan pendatang dari Solo. Dia mencoba peruntungan di Kota Kediri dengan berdagang jamu keliling. ”Mbah Suwandi ke Kediri bersama istrinya, yang kebetulan ya sama-sama dagang jamu keliling,” cerita Titik.
Titik tahu cerita itu karena istri Mbah Suwandi masih hidup hingga saat ini. Tapi sudah pensiun dari menjual jamu. Yang membedakan jamu dari warga Kauman dengan jamu yang lain ada pada bahan pembuatannya. ”Emponempon asli, alami, segar, enek jeruke. Gulanya yo alami,” ungkap Rusiah, 64, mantan pedagang jamu.
Dulu kebanyakan yang berdagang jamu turun-temurun. Dari orang tua ke anaknya, demikian seterusnya. Namun, kini mulai muncul kecenderungan para penjual jamu itu tak ingin pekerjaannya diteruskan sang anak.
Dari sisi usia, rata-rata usia pedagang jamu keliling itu adalah usia produktif. Mereka menekuninya sejak masih bujangan. ”Mulai soko perawan yo panggah dodolan jamu,” kata perempuan bercucu tiga itu.
Terdapat beberapa jenis pedagang jamu di kampung tersebut. Ada yang menjajakan dengan menggendongnya, menggunakan gerobak dorong, dan ada pula yang menggunakan sepeda pancal. Tempat pemasarannya mulai kawasan alun-alun, Jalan Dhoho, pasar, hingga wilayah Kediri lainnya.
Saat ini di tiap RT rata-rata ada 20an penjual jamu. Artinya, dalam satu lingkungan, penjual jamu mencapai 100 orang. Itu berarti hampir separo dari jumlah KK yang ada.
Yang menarik, para penjual jamu tersebut punya pasangan hidup yang hampir sama pekerjaannya. Bila perempuannya berjualan jamu, yang laki-laki pada umumnya adalah penjual es puter dan rujak buah.
Walaupun terlihat sepele, hasil dari berjualan jamu itu relatif lumayan. Menurut Hanifa, ketua karang taruna setempat, banyak pedagang jamu dan penjual es puter itu yang bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. ”Beli rumah dan kendaraan juga,” ujarnya.
Hasil yang lumayan itu diakui Suparmi, 76. Mantan penjual jamu gendong tersebut mengaku bisa hidup dari berjualan jamu.