Menguji Penetapan Tersangka yang Tidak Adil
PENGADILAN Negeri (PN) Jakarta Selatan Selasa (10/4) mengentak dunia hukum di tanah air. Amar putusan praperadilan memerintahkan penetapan Boediono sebagai tersangka sekaligus melanjutkan penyidikan kasus Bank Century.
Putusan itu fenomenal. Sebab, baru kali pertama pengadilan memerintah penyidik menetapkan tersangka.
Awasi Penetapan Tersangka Putusan itu membongkar tembok ketidakterkontrolnya wewenang penyidik dalam penetapan tersangka. Selama ini ada dua kegelapan dalam penetapan tersangka. Pertama, dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini sudah dijawab dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), baik prosedural maupun syarat substansi.
Kedua, mengapa seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan mengapa yang lain tidak. Pertanyaan yang kedua itu terjawab dengan praperadilan ini. Sudah terlalu lama kita menahan sesak dada seraya bergumam: ”Saya berbuat dengan dia, tapi kok saya saja tersangkanya.” ”Kenapa dia saja tersangkanya, padahal berbuatnya dengan mereka, ada apa ini?” Ungkapan ketidakpercayaan pada penetapan tersangka lama sekali tersimpan dalam alam bawah sadar keadilan rakyat. Sang penyidik pun merasa itu merupakan otoritasnya untuk menersangkakan siapa bersama siapa dan cukup sampai siapa saja. Pengadilan pun banyak tidak dapat berbuat apa-apa ketika yang didakwa hanya tertentu, sementara yang lain tidak.
Rakyat kini memiliki pintu untuk mengontrol penetapan tersangka baru, dan hakim pun tidak hanya fasih menerima tersangka dari penuntut umum. Kalau dirasa tersangkanya kurang, hakim seharusnya secara aktif memerintahkan untuk menersangkakan pihak lain yang diabaikan.
Keadilan Tersangka Objek praperadilan diatur dalam pasal 77 KUHAP juncto putusan MK No 21/PUU-XII/2014 untuk menguji: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Putusan itu merupakan perluasan atas pemaknaan dari pasal 77 huruf a: sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Sebagaimana diketahui, putusan atas kasus bailout Bank Century dalam kasasi atas terdakwa Budi Mulya telah diputus 15 tahun. Sementara itu, atas para pihak yang memiliki peran sama dalam kasus tersebut, proses penyidikannya belum beranjak. Jangankan disidangkan, ditersangkakan saja tidak oleh KPK. Putusan praperadilan itu merupakan ”penemuan hukum” (rechtvinding) atas kata ”penghentian penyidikan”, tidak saja diukur yang secara formal dengan penerbitan SP3. Penghentian cukup diartikan telah terjadi ketika ada satu pihak yang telah diproses bahkan sampai putusan kasasi, sementara ada pihak lain yang tidak ditingkatkan proses penyidikannya adalah bentuk dari ”penghentian penyidikan”. Penundaan proses di kala yang lain berlanjut adalah bentuk ketidakadilan dan ini tidak boleh lagi terjadi.
Lebih lagi, termohon praperadilan itu adalah KPK yang tidak memungkinkan menghentikan penyidikan melalui SP3. Namun, penghentian penyidikan itu bagi KPK cukup tecermin dari tidak melanjutkannya penyidikan dalam waktu yang seharusnya juga sudah diselesaikan. Selama ini KPK banyak berlindung dalam dalih tidak cukup bukti, tidak sadar bahwa itu telah menimbulkan kesan tebang pilihnya dalam penegakan hukum.
Kepentingan Siapa Pertanyaan lebih lanjut, siapa pihak yang diberi legal standing untuk memohon praperadilan atas pengujian penetapan tersangka itu sebagaimana palam pasal 77 ayat (1) huruf b menyatakan ”atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan”. Memaknai ”yang berkepentingan” dalam praperadilan itu selama ini adalah diberikan kepada pelapor, dengan asumsi pihak yang berkepentingan biasanya adalah pelapor atas kerugian yang dideritanya. Kebetulan dalam putusan praperadilan ini adalah pihak Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) selaku LSM. Dengan demikian, sejauh ini pemohon praperadilan dalam menguji penghentian penyidikan ini adalah pelapor maupun masyarakat yang merasa berkepentinganya terugikan atas penghentian tersebut.
Namun, ke depan untuk menjamin keadilan, praperadilan perlu diberikan haknya kepada seseorang yang diperlakukan tidak adil. Khususnya saat seseorang ditetapkan tersangka, sementara yang lain tidak. Bahkan, jika tersangka tersebut telah menjalani proses pidana atau telah meninggal dunia, perlu juga pintu permohonan praperadilan tersebut diberikan kepada keluarganya si terpidana yang meninggal tersebut, ini memberikan hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum bagi rakyat.
Perlu Regulasi Terobosan hukum itu memecah gunung kebuntuan keadilan yang tak semua hakim mampu dan berani melakukannya. Termasuk untuk menirunya dalam perkara lebih lanjut. Apalagi, hukum civil law yang kita anut tidak menempatkan preseden sebagai dasar hukum yang mengikat, melainkan hukum tunduk pada aturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, adalah tugas pembentuk hukum (presiden dan DPR) untuk segera mengakomodasi terbitnya keadilan dalam penetapan tersangka. Bisa juga dengan kembali menguji ketentuan objek praperadilan dalam pasal 77 KUHAP, termasuk ”sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penyitaan, penetapan tersangka dan/atau tidak ditetapkannya tersangka atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan”. (*) *) Dekan Fakultas Hukum Unej