Jawa Pos

Kecintaan yang Berawal dari Sanggar Tari

Kecintaan pada seni tari tradisiona­l membuat Zulfa Mitra berkiprah melalui sanggar tari. Pergerakan­nya makin luwes ketika bertemu sang suami, Efrulwan, yang jago jadi pembawa acara. Melalui bisnis wedding service, keduanya getol mempertaha­nkan ritual adat

- RESVIA AFRILENE

TERLAHIR dengan bakat seni tari menjadi anugerah terbesar bagi Zulfa Mitra. Perempuan kelahiran Payakumbuh, 20 Maret 1968 tersebut sejak remaja sudah jatuh cinta dengan kekayaan gerakan tari tradisiona­l Minangkaba­u. Saat ditemui kemarin (11/4) dia sedang melatih tari di Taman Budaya Jawa Timur Cak Durasim. Gerakan perempuan yang akrab disapa Efa itu masih luwes.

’’Tapi ya, sudah nggak sebagus dulu. Sekarang yang aktif melatih Salsa (Salsabila Maryami, putri pertamanya, Red),’’ ujar Efa. Meski begitu, sesekali dia masih melihat perkembang­an murid-murid sanggarnya, Sanggar Siti Nurbaya. Sanggar tersebut didirikan pada 19 Mei 1996. Awalnya, dia mengajarka­n tari Minangkaba­u.

’’Saya mengajukan latihan di sini karena waktu itu belum ada jenis tarian yang mau saya ajarkan. Sekarang pun, tari daerah Aceh, Sulawesi, Gorontalo, sampai Banjar masih sanggar saya saja,” ucap ibu dua anak tersebut. Efa dan murid-muridnya kerap diundang untuk menjadi pengisi acara dalam pesta adat pernikahan.

Keinginan kuat Efa untuk tetap meng- hidupkan napas seni kedaerahan melalui tarian didukung sepenuhnya oleh sang suami, Efrulwan. Iwan, begitu sapaannya, berprofesi sebagai penyiar radio dan sering diminta menjadi pembawa acara pernikahan adat. ’’Harus belajar pantun-pantun Minang. Ritual-ritual adat lain juga harus paham karena sifatnya sakral,’’ jelasnya.

Melihat keahlian pasangan suami istri (pasutri) itu, beberapa perias manten lantas mengajak bekerja sama untuk melayani pernikahan adat. ’’Berjalan dua tahun akhirnya mengambil cicilan dekorasi pelaminan dan busana pengantin adat,’’ ucap Iwan. ’’Kalau tidak salah, Rp 450 ribu per bulan waktu 1990-an itu,’’ tambah Efa.

Sanggar tari yang digagas sebagai upaya pelestaria­n tradisi tari daerah ternyata mempunyai dampak cukup besar untuk pasutri tersebut. Mereka lantas merambah jasa wedding service pada 1998.

Klien pertama mereka adalah sahabat dari Payakumbuh. ’’Saya lupa lengkapnya. Kami memanggil beliau Uda Herman,’’ tutur Iwan. Semua buah hati Uda Herman menikah dengan adat Minangkaba­u. Ritual malam bainai, berbalas pantun, dan tari pasambahan pun dihadirkan. ’’Meski beliau sudah dipanggil Tuhan, putri terakhirny­a tahun lalu masih kami atur pernikahan­nya di Islamic Center,’’ ceritanya.

Momen tersebut betul-betul membuatnya trenyuh. Keinginan keduanya untuk terus mendorong orang lain melestarik­an pesta adat mereka berbuah manis. Awalnya, banyak kawan dari pulau lain yang tinggal di Jawa kesulitan mengadakan pesta adat suku mereka. Apalagi soal pelaminan dan busana yang harus dipesan dari seberang pulau. Kalau sekarang, banyak keluarga maupun sahabat pengantin yang terbang ke Jawa untuk melakoni pesta adat suku mereka.

Semua ritual tetap bisa dilaksanak­an meski tidak di daerah asalnya. Misalnya, tradisi dalam Suku Jawa yang disebut midodareni. ’’Kalau adat Minang, sebutannya malam bainai. Di Aceh dikenal sebagai pesijuk. Dalam tradisi Melayu, namanya tepung tawar. Lain lagi di Sulawesi. Istilahnya mapaci,” jelas Iwan.

 ??  ?? SEHATI: Efrulwan dan Zulfa Mitra. Suami istri ini menjadi pengatur pernikahan adat.
SEHATI: Efrulwan dan Zulfa Mitra. Suami istri ini menjadi pengatur pernikahan adat.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia