Danarto yang Saya Kenal
DIA tersenyum di ujung itu. Danarto. Tahun 1978. Dia pun menegur saya lebih dulu karena saya memandanginya saja sekeluar dari kelas di Departemen Sinematografi LPKJ di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat itu Danarto mengajar di Departemen Seni Rupa.
’’Maunya gambar seperti apa?’’ katanya.
Ya, saya minta kepadanya untuk membuat gambar sampul buku puisi saya.
’’Yang blok hitam-hitam itu lho, Mas.’’
Yang ada di kepala saya adalah sampul buku puisi Goenawan Mohamad, Interlude (1971); yang ada di kepala Danarto pasti berbeda karena yang diserahkannya kemudian benar-benar ’’blok hitam’’. Kesan saya seperti nisan, blok hitam besar di tengah, sementara di atas-bawah dan kiri-kanannya terdapat blok yang sama tetapi lebih.
Mungkin cocok dengan judulnya, pikir saya. Judulnya memang Bayi Mati. Saya juga berpikir waktu itu, barangkali yang seperti ini dianggap bagus. Dengan kata ’’barangkali”, artinya saya tidak mengerti. Namun, sekarang saya bisa memahami, blok hitam purba itu supersimetris, yang tampak sembarang ternyata berkualifikasi matematis. Sayang, tidak saya miliki bukunya karena malu dengan isinya –tapi saya berani mengatakan gambar itu kuat sekali.
***
Itulah pertemuan pertama saya dengan Danarto. Setelah itu, saya selalu bersikap seperti murid mencari guru, artinya bertanya melulu, dan banyaklah jawabannya yang masih menempel sampai sekarang. Namun, yang mengesankan adalah ke rendah hati a n nya untuk tidak bergaya ’’sok empu”, misalnya saja meminta tulisan dari saya yang masih belajar menulis untuk dimuat di majalah Zaman. Jika tidak ketemu, Danarto menulis surat dengan tulisan tangan yang sudah merupakan karya seni rupa itu. Kalimatnya sungguh membesarkan hati, sehingga saya pun lanjut menulis cerita wayang, terutama karena saya tahu benar akan diberi ilustrasi gambar Danarto.
Gambar-gambar wayang Danarto memang penuh dengan kejutan, seperti juga cerita-ceritanya, tetapi orangnya pun bagi saya tidak kalah mengejutkan. Pengalaman saya, jika sedang jajan tengkleng di depan kolam renang Cikini, ketika mau membayar, penjualnya berkata, ’’Sudah dibayar tadi.’’ Ternyata, Danarto yang sedang asyik ngobrol di meja sebelah yang membayarnya.
Sikapnya terhadap uang memang tidak seperti banyak orang.
’’Saya tadi melihat seorang ibu yang dicopet di bus kota dan saya diam saja, padahal di kantong saya ada uang sepuluh ribu. Seharusnya, langsung saya kasihkan, tapi waktu saya menyadarinya, ibu itu sudah pergi. Saya merasa gagal diuji oleh
Tuhan. Gagal saya. Gagal.’’
Cerita itu saya dengar tahun 1980-an, ketika Rp 10.000 mungkin senilai dengan Rp 100.000 hari ini.
Saya percaya Danarto serius dengan ucapannya. Sama seriusnya dengan pengakuan ini: ’’Kalau salat, saya belum mampu berkonsentrasi penuh. Baru mulai saja sudah langsung terngiang di telinga saya, ’Tengkleng, tengkleng, tengkleng… Tongseng, tongseng, tongseng… Sate kambing, sate kambing, sate kambing…’ Godaan seperti ini belum mampu saya kalahkan.’’
Ini tidak berarti Danarto menghentikan salat dan mencari sate kambing, melainkan menunjukkan betapa sungguh-sungguh Danarto be r ketuhanan. Begitu sungguh sungguhnya sehingga Danarto yang tak pernah putus salatnya itu adalah pembela tangguh aliran kepercayaan minoritas yang mana pun. Saya pernah membaca kolomnya tentang hal itu, dua halaman penuh di majalah Tempo. Isinya tak kurang dari: kalau orang percaya dan bahagia dengan itu, apa salahnya.
***
Banyak disebutkan bahwa Danarto adalah seorang sufi. Danarto sendiri tidak pernah menyatakannya. Namun, jika ciri terpenting sufi adalah asketisme, yakni menahan diri dalam segala hal, saya kira itu tidak terlalu cocok dengan hedonismenya dalam bidang kuliner. Sehabis wawancara dengan pelawak Asmuni, saya bercerita bahwa Asmuni buka warung dengan menu khas masakan ikan belanak. Besoknya Danarto sudah berkomentar tentang masakan itu. Bukankah ia seorang pemburu kenikmatan?
Namun, Danarto selalu mau berbagi segala kenikmatan kepada semua orang. Ketika saya bergabung dengan Zaman, rapat redaksi baru saja mulai saat pintu terbuka dan berpiring-piring kambing goreng diantar masuk.
’’Ada seorang ibu yang baik hati,’’ kata Danarto.
Kami sudah tahu, Danarto makan enak, terkesan, dan memborongnya untuk kami semua.
Hal semacam itu kiranya berlangsung terlalu sering, sehingga meskipun bagi Danarto uang datang sendiri tanpa dicari (permintaan jadi pembicara, tulisan, gambar, hadiah sastra, penghargaan, dll), masalah finansial tetaplah laten karena pengeluaran yang melebihi kemampuannya. Tak hanya mentraktir 30 orang lebih sesering seringnya, tetapi bahkan menjanjikan beasiswa, sepeda motor, dan entah apa lagi kepada orang-orang terdekat, ’’Kalau nanti sudah ada uangnya”.
Saya pernah mempertanyakan itu, ’’Karena semua datangnya dari Allah ya Mas?’’
Danarto hanya tersenyum. (*)