Harga Minyak Mentah Naik
RI Terimbas Serangan Amerika Cs ke Syria
JAKARTA – Aksi militer berupa serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Syria berdampak terhadap Indonesia. Tentu tidak berbentuk kerusakan bangunan fisik, tapi berupa tekanan ekonomi karena kenaikan harga minyak mentah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Bhima Yudistira Adhinegara menuturkan, jika berkelanjutan, konflik di Syria dapat mengerek indeks harga minyak mentah Brent pada level USD 80 per barel dalam waktu dekat
Level itu merupakan tertinggi sejak November 2014. ”Kondisinya mengulang seperti konflik di Iraq-Iran tahun 1973 dan konflik Timur Tengah tahun 2011,” ungkap Bhima saat dihubungi Jawa Pos tadi malam. Kala itu harga minyak langsung terkerek naik begitu konflik bersenjata pecah.
Pantauan Jawa Pos, per 14 April 2018, saat isu serangan ke Syria makin kuat, indeks harga minyak AS West Texas Intermediate menyentuh level USD 67,39 per barel. Level tertinggi sejak Desember 2014.
Menurut Bhima, kenaikan tersebut pasti berimbas pada membengkaknya subsidi energi dalam APBN. Apalagi, dalam APBN 2018, pemerintah masih menggunakan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) sebesar USD 48 per barel, jauh di bawah harga pasar sekarang. Dampak lebih jauh, defisit anggaran bisa melebihi target APBN, yakni 2,19 persen.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, jika pihak-pihak yang berkonflik di Syria berdamai, kenaikan harga minyak dunia saat ini sebetulnya hanya siklus sementara. ”Biasanya dampak yang muncul hanya hitungan bulan,” ujarnya. Pihaknya memprediksi rata-rata harga minyak hingga akhir tahun mencapai USD 65 sampai USD 70 per barel.
Selain tekanan ke APBN, kinerja PT Pertamina (Persero) juga semakin berat jika kenaikan harga minyak mentah internasional tak bisa ditahan. ”Dengan sebagian besar bahan baku minyak mentah impor, keuangan Pertamina akan tertekan karena tidak bisa langsung menyesuaikan ke harga pasar,” imbuh Komaidi.
Saat ini dari kebutuhan minyak dalam negeri sebesar 1,6 juta barel per hari (bph), produksi minyak nasional baru mencapai 800 ribu bph. Karena itu, sisanya sebesar 800 ribu bph masih harus dipasok dari impor.
Beratnya kinerja semakin terasa karena pemerintah akan merevisi Perpres No 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceren BBM serta Peraturan Menteri ESDM No 39 Tahun 2014 tentang Perhi- tungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Revisi aturan tersebut membuat Pertamina, Total, Shell, AKR, dan Vivo harus mendapat izin dari pemerintah untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi seperti pertamax, pertalite, dan dexlite.
Direktur Pemasaran PT Pertamina M. Iskandar mengakui, jika Pertamina tidak bisa menyesuaikan harga di tengah kenaikan harga minyak dunia, ke depan investasi perseroan dapat terhambat. ”Kami harus meninjau lagi investasi membangun kilang,” ujarnya.
Kenaikan harga minyak dunia juga diperkirakan berdampak pada kinerja PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sebab, PLN masih memiliki pembangkit yang menggunakan BBM (5,81 persen dari total pembangkit) sebagai bahan bakar.
Angka itu ditargetkan dapat ditekan menjadi 5 persen pada 2018. ”Meski secara volume tidak sampai 10 persen, biaya porsinya juga masih signifikan. Jadi, kalau tidak dinaikkan, tarif listriknya pasti akan berdampak terhadap keuangan PLN,” imbuh Komaidi.
Pemerintah memang sudah memastikan tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2019 untuk menjaga daya beli masyarakat. Bukan hanya itu. Kenaikan harga minyak dunia juga dikhawatirkan dapat memberikan beban kepada industri.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Keramik dan Aneka Industri (Asaki) Hendrata Atmoko menambahkan, kenaikan harga minyak dunia secara tidak langsung memengaruhi kenaikan harga bahan baku untuk industri keramik.
”Memang tidak secara langsung karena yang berpengaruh langsung adalah UMR (upah minimum regional) maupun harga gas industri,” ujarnya. Untuk harga gas, industri keramik masih harus membayar sekitar USD 9,1 per mmbtu. Harga itu belum mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun lalu.