Jawa Pos

Kritik Hantam Kromo

- BUDI DARMA*

UDARA Indonesia dicemari oleh kritik hantam kromo: tanpa data, asal hantam, selalu cari kambing hitam, seolah-olah dirinya atau pihaknya paling benar, dan pihak lain harus dihantam habis. Dengan sendirinya kritik semacam ini tidak menawarkan solusi, sebab tujuannya tidak lain hanyalah merusak. Apabila penerima kritik semacam ini orang-orang yang kurang berpikir panjang, tentu saja semangat kritik ini dianggap benar: segala kesalahan ada pada objek kritik, sementara pihak yang mengkritik adalah orang-orang suci.

Tapi ingat, tidak semua orang bisa menerima kritik mentah-mentah. Sebab, seseorang yang mau berpikir sedikit panjang pasti mempunyai akal sehat dan pemikiran kritis. Akal sehat bisa berupa insting, nurani, dan nalar tanpa perlu berbasis teori. Kecuali itu, apabila seseorang mau berpikir agak panjang, sadar atau tidak orang itu akan bersikap kritis, dan sikap kritis ini bisa dikembalik­an ke dua landasan, yaitu apa yang dikatakan oleh Sigmund Freud sebagai ’’mekanisme pertahanan’’ dan adagium Publilius Syrus, seorang filsuf besar Syria, pada tahun 85-43 sebelum Masehi.

Kebanyakan gagasan Sigmund Freud itu abstrak, dan karena itu beberapa pakar kemudian berusaha untuk ’’menyederha­nakan’’ gagasan itu supaya jelas dan bisa dioperasio­nalkan. Salah satu gagasan Sigmund Freud mengenai ’’mekanisme pertahanan’’ telah dirumuskan ulang oleh anaknya sendiri, yaitu Anna Freud. Inti ’’mekanisme pertahanan’’ adalah usaha untuk menutupi kelemahan diri sendiri dengan mencari kambing hitam atau pihak lain sebagai sumber kelemahann­ya. Usaha ini bisa dilakukan secara sadar, bisa juga tanpa sadar, bisa juga spontan, dan bisa juga tidak spontan.

Salah satu tindakan spontan dan tanpa disadari pelakunya terjadi, manakala, katakanlah dalam pertanding­an tenis, pelaku ini kalah. Karena merasa dirinya tidak kalah, dia membanting raketnya kuatkuat sebab kekalahan bukan karena dia tidak mampu bermain, tapi karena raketnyala­h yang menyebabka­n dia kalah.

Kekalahan berarti kegagalan, dan kegagalan bisa terjadi apabila seseorang mengingink­an kedudukan tertentu, tapi keinginan itu tidak tercapai. Respons terhadap kegagalan ini adalah menuduh orang lain berkhianat, berbuat curang, dan sengaja membuat dirinya gagal. Dalam keadaan inilah kritik hantam kromo dilontarka­n, kadang-kadang dengan jalan vulgar, untuk mendiskred­itkan orang atau pihak lain. Kritik semacam ini bisa benar- benar agresif dan merusak, seperti halnya membanting raket dengan sekuat tenaga. Keagresifa­n yang merusak orang atau pihak lain ini oleh Freud dinamakan ’’displaceme­nt’,’ yaitu mencari kambing hitam. Menempelen­g istri tanpa dosa dan menyepak anjing peliharaan yang tidak tahu apa-apa adalah kambing hitam, dan refleksiny­a bukan pada kambing hitam itu sendiri, tapi pada orang atau pihak lain yang dianggap menggagalk­an keinginann­ya. Bagaikan permainan bola sodok, bola yang disodok belum tentu merupakan tujuan utama dari tindakan menyodok.

Lalu, siapakah Publilius Syrus? Awalnya dia hanyalah seorang budak tanpa martabat. Karena ternyata budak ini amat cerdas, oleh pemiliknya dia dibebaskan dan diberi kesempatan untuk sekolah. Akhir- nya dia menjadi filsuf terkenal, dan salah satu pengagumny­a adalah Julius Caesar. Adagium Publilius Syrus tampaknya sederhana, tapi benar-benar menohok. Menurut dia, orang yang selalu menuduh pada dasarnya adalah orang yang penuh ketakutan. Sumber ketakutan bisa bermacam-macam, tapi intinya terletak pada kelemahan dan kesalahan. Kelemahan, misalnya, dalam bentuk tidak mampu melawan orang atau pihak yang dibencinya. Sementara itu, kesalahan bisa mempunyai makna macam-macam, misalnya pernah mencuri, pernah berkhianat, pernah menodai kehormatan orang lain terutama yang lebih kuat dibanding dengan dirinya sendiri, dan lain-lain.

Inti adagium Publilius Syrus ada kemiripann­ya dengan ’’mekanisme pertahanan’’ Sigmund Freud, yaitu ’’yang salah bukan saya tapi dia’.’ Dalam adagium Publilius Syrus, kambing hitamnya adalah objek yang secara langsung akan dihancurka­n, yaitu ’’musuh’’ yang dianggapny­a mengetahui kelemahan dan kesalahann­ya. Iri, dengki, ambisi tidak sehat, dan persepsi diri yang terlalu tinggi, itulah sumber kritik hantam kromo. Logika disingkirk­an, akal sehat ditiadakan, dan egoisme dimanjakan, itulah sumber kritik hantam kromo.

Sementara itu, kambing hitam dalam ’’mekanisme pertahanan’’ hanyalah sarana untuk menutupi kelemahan, dan sasaran kritik hantam kromonya bukanlah kambing hitam itu sendiri. Intinya tetap sama, antara lain iri, dengki, ambisi yang tidak sehat, dan persepsi diri yang terlalu tinggi. Logika juga disingkirk­an, akal sehat ditiadakan, dan egoisme juga dimanjakan. ’’Tepo sliro’,’ yaitu perasaan ’’andaikata saya adalah dia’,’ atau lebih tepatnya ’’andaikata saya sukses seperti dia’’ dinafikan, karena bagi orang yang suka melontarka­n kritik hantam kromo yang ada hanyalah ’’sebetulnya saya lebih hebat daripada dia’.’

Menurut dia, orang yang selalu menuduh pada dasarnya adalah orang yang penuh ketakutan. Sumber ketakutan bisa bermacam-macam, tapi intinya terletak pada kelemahan dan kesalahan. Kelemahan, misalnya, dalam bentuk tidak mampu melawan orang atau pihak yang dibencinya.”

Sastrawan yang tinggal di Surabaya, guru besar Unesa

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia