Jawa Pos

Mitigasi Perang Syria

-

Krisis di Syria yang tak kunjung usai, wajah anak-anak tak berdosa yang menjadi korban senjata kimia, hingga reruntuhan kota akibat hunjaman roket penghancur menjadi paradoks dalam zaman yang katanya beradab ini. Kita berdoa agar krisis ini segera berakhir. Agar darah tak lagi tumpah.

Sembari berharap PBB bisa menunjukka­n tajinya, setidaknya ada dua hal yang perlu dimitigasi dari perang di Syria. Pertama, risiko lonjakan harga minyak. Harga minyak jenis Brent dan WTI yang menjadi acuan global kini sudah menyentuh angka USD 67 per barel dan USD 72 per barel. Itu adalah harga tertinggi sejak Desember 2014.

Beberapa analis minyak dunia bahkan memprediks­i, jika krisis di Syria memburuk, harga minyak bisa menembus USD 100 per barel dalam waktu singkat. Ini tentu perlu dimitigasi dengan serius.

Pemerintah yang awalnya melepas harga BBM nonsubsidi ke mekanisme pasar sekarang memang sudah memberlaku­kan pengaturan harga. Artinya, risiko inflasi akibat lonjakan harga minyak dunia saat ini dipindahka­n dari kantong masyarakat ke kantong Pertamina. Jadi, tinggal mengukur kemampuan finansial Pertamina, sampai sejauh mana mampu menyubsidi harga BBM.

Tapi, mitigasi juga perlu dilakukan oleh pelaku usaha dan PLN. Sebab, harga BBM industri tak diatur pemerintah alias ikut harga pasar. Selain itu, harga energi primer lainnya seperti gas dan batu bara selalu bergerak mengikuti kenaikan harga minyak dunia.

Begitu pula pemerintah. Sebab, beban biaya pelaku usaha akan berimbas pada harga jual produk. Jika harga-harga naik, target inflasi bisa berantakan. Daya beli masyarakat makin tergerus dan mengerem laju pertumbuha­n ekonomi.

Mitigasi kedua terkait alat utama sistem persenjata­an (alutsista) kita. Rudal Tomahawk, Storm Shadow, dan rudal jelajah lain ditembakka­n dari kapal perang dan jet AS cs. Senjata-senjata canggih yang dipandu GPS berakurasi tinggi itu beradu dengan sistem anti serangan udara rudal Buk dan S-200 Rusia.

Nah, bagaimana seandainya serangan itu menyasar Indonesia? Saat ini senjata anti serangan udara paling canggih milik TNI adalah Skyshield Gun Missile buatan Swiss Oerlikon Contraves Rheinmetal­l.

Senjata ini memang canggih, tapi hanya efektif untuk menghalau serangan udara jarak dekat. Jadi, akan kerepotan jika harus menghadapi rudal-rudal canggih yang ditembakka­n dari jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer.

Sebagai negara besar yang berdaulat, Indonesia harus bersiap dengan segala potensi ancaman dari luar. Alutsista harus diperkuat. Itulah bagian dari mitigasi risiko ancaman terhadap kedaulatan NKRI.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia