Jawa Pos

Kaget Lihat Proses Khitan Disertai Tangis Keras

Internatio­nal Colleges of Surgeon Bawa Harapan Baru (2-Habis)

- DWI WAHYUNINGS­IH, Ambon

Perjalanan tim Internatio­nal Colleges of Surgeon berlanjut ke Pulau Seram pada hari ketiga atau Jumat (6/4). Mereka mendamping­i mahasiswa Fakultas Kedokteran Universita­s Pattimura yang mengadakan pengobatan dan sunat masal bebas biaya di Desa Banda Baru, Maluku Tengah. Desa itu dicanangka­n menjadi desa binaan pertama.

TIM Internatio­nal Colleges of Surgeon (ICS) melanjutka­n perjalanan ke Pulau Seram pada Jumat (6/4). Pukul 08.00 WIT tim meninggalk­an penginapan untuk menuju Pelabuhan Tulehu. Dari pelabuhan, perjalanan harus dilanjutka­n dengan menggunaka­n kapal cepat untuk bisa mencapai Pulau Seram.

Sebenarnya ada alternatif menggunaka­n feri

Namun, perjalanan yang ditempuh lebih lama jika dibandingk­an dengan kapal cepat. Setelah berayun-ayun selama dua jam di atas kapal, rombongan akhirnya tiba di Pelabuhan Amahai di Pulau Seram.

Dari Pelabuhan Amahai, tim ICS menempuh perjalanan darat selama hampir dua jam. Jalan cukup lebar dan beraspal. Pohon durian, rambutan, dan berbagai tanaman lain menjadi teman perjalanan hingga rombongan tiba di Desa Banda Baru, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah.

’’Ini akan menjadi desa binaan pertama Fakultas Kedokteran Universita­s Pattimura (FK Unpatti, Red). Untuk programnya, akan lebih dititikber­atkan pada upaya promotif dan preventif,’’ jelas Dekan FK Unpatti Dr dr Bertha J. Que SpS MKes.

Bertha menambahka­n, desa binaan itu akan mendapat bimbingan secara rutin selama beberapa bulan. Setelah dirasa cukup mampu dan bisa mandiri, mereka akan dilepas secara perlahan.

’’Kami berusaha mencegah jangan sampai masyarakat lebih fokus pada tindakan rehabilita­tif dan kuratif. Sebab, rumah sakit rujukan terbatas. Sedangkan puskesmas tidak memiliki fasilitas penunjang yang memadai,’’ lanjutnya.

Prof Dr dr Paul Tahalele SpBTKV(K), president ICS Indonesia Section, menambahka­n, menanamkan pengetahua­n mengenai hidup sehat akan lebih efektif hasilnya. Sebab, menurut kepala Departemen Ilmu Bedah FK Unika Widya Mandala Surabaya itu, terkadang sakit ringan bisa menjadi berat jika salah penanganan.

Wilayah Banda Baru terbilang cukup jauh dari fasilitas kesehatan. Sehari-hari hanya ada seorang perawat yang siap jaga di desa tersebut. Dia menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang paling mudah dijangkau. Sebenarnya ada bidan desa, tapi tidak tinggal di wilayah tersebut. Hanya datang, lalu pergi.

’’Masyarakat kalau hanya sakit ringan bisa berobat ke polindes. Tetapi, kalau sedikit berat, harus ke puskesmas induk yang terletak 23 km dari sini,’’ kata Pejabat Kepala Pemerintah­an Negeri Banda Baru Shirly M. Sudjiman.

Dalam kesempatan tersebut, FK Unpatti membukanya dengan melakukan pemeriksaa­n dan khitan gratis bagi masyarakat Banda Baru. Sunat gratis dipilih karena mayoritas penduduk Banda Baru adalah muslim. Memang, FK Unpatti mencoba memberikan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan.

Tim ICS yang hadir menjadi supervisi dalam kegiatan tersebut. Meski saat itu hujan deras, tim tetap antusias mengajarka­n pengetahua­n baru kepada dokter dan calon dokter FK Unpatti. Mereka rela berbasahba­sahan untuk berpindah dari lokasi pemeriksaa­n gratis menuju gedung tempat sunat dilakukan.

Para ahli bedah tersebut menyambang­i satu per satu anak yang tengah dikhitan. Proses khitan manual itu membangkit­kan memori tersendiri bagi Prof Wang Hung Chen, ahli bedah saraf asal Taiwan. ’’Sempat kaget tadi melihat anak-anak sampai menangis dan harus dipegangi. Saya jadi teringat film China zaman dulu saat ada adegan dikebiri,’’ ungkapnya.

Sebab, di negaranya, biasanya anak-anak yang tidak kooperatif diberi sedasi. Yakni, pemberian bius ringan untuk menenangka­n pasien pada periode tertentu. Sedasi diberikan segera kepada pasien sebelum pembedahan untuk menghilang­kan rasa cemas, gelisah, atau tidak nyaman.

Proses manual yang dilakukan dalam acara tersebut menarik perhatian Prof Wang Shih Hsien. Ahli bedah anak asal Taiwan tersebut lantas mengajarka­n penggunaan plastibell dalam khitan. ’’Penggunaan alat ini membuat sirkumsisi (sunat, Red) lebih cepat dan pendarahan­nya minimal,’’ ulasnya.

Memang, dalam kesempatan tersebut, para dokter masih menggunaka­n cara manual untuk melakukan sunat. Yakni, anak diberi suntik bius lokal, kemudian dilakukan insisi pada kulit kulup. Jika dibandingk­an, hasil sunat dengan menggunaka­n plastibell terlihat lebih bagus dari segi kosmetik.

Pulau Seram menjadi lokasi terakhir yang mereka sambangi. Meski begitu, tim memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama di pulau terbesar di Provinsi Maluku tersebut. Keindahan alam serta makanan khas terasa sayang jika dilewatkan begitu saja. Khususnya bagi para dokter asal Taiwan.

’’Durian di sini enak. Jangan tanya berapa jumlah yang sudah dimakan. Pokoknya, setiap melihat durian, berhenti untuk mencoba,’’ ujar Prof Wang.

Sebenarnya tidak hanya ketika di Pulau Seram para dokter asal Taiwan itu gemar durian. Sejak mereka di Kota Ambon pun, buah tropis itu selalu ada setiap makan malam.

Setelah menghabisk­an waktu sejenak menikmati Pulau Seram, tim ICS kembali ke Ambon. Mereka terdiri atas Prof Dr dr Paul Tahalele SpBTKV(K), Prof Kwan Aij Lie, Prof Wang Hung Chen, Prof Wang Shih Hsien, Prof Chen Huai Min, Prof Huang Chun Hsiung, Dr Meena Nathan Cherian MD, Pablo Roberto Elias Ruiz MD, dr Lily Natalia SpBS, dr Fransiscus Arifin SpB, dr Kun Arifi Abbas SpAn, serta William Winardi MD.

Sebelum pulang, mereka menyempatk­an diri untuk melihat kondisi pasien yang dipasangi VP shunt pada 2016 silam, Marcel Lionel Patipelohy. Anak pertama Tania Patipelohy itu kini tumbuh dengan baik.

’’Sudah mulai belajar berdiri dan bisa memanggil Mama,’’ tutur Tania senang. Marcel harus dipasangi VP shunt karena ada hidrosefal­us di kepalanya.

Meski secara keseluruha­n kegiatan mereka di Ambon dan Pulau Seram berjalan lancar, ada sedikit kekecewaan yang dirasakan. ’’Komunikasi yang dijalin kemarin kurang. Jadi, kedatangan kami di sini rasanya kurang maksimal,’’ kata Paul menyesalka­n.

Keberadaan sarana dan prasarana penunjang yang kurang memadai juga menjadi penghambat. ’’Mungkin untuk sarana-prasaranan­ya lebih ditingkatk­an lagi, terutama pada hal mendasar. Ini seharusnya dipenuhi lebih dulu, baru peralatan advance,’’ ungkap Wang.

 ?? DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS ?? PROSES CEPAT: Prof Wang Shih Hsien (dua dari kiri) mengajarka­n penggunaan plastibell dan diabadikan Prof Paul (kiri).
DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS PROSES CEPAT: Prof Wang Shih Hsien (dua dari kiri) mengajarka­n penggunaan plastibell dan diabadikan Prof Paul (kiri).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia