Jawa Pos

Masa Kecil Banyak di Kelas

Shailee Basnet, si Mungil Penakluk Puncak Tertinggi Dunia

-

MENJANGKAU puncak tertinggi dunia, Shailee Basnet belum merasa cukup. ’’Pendakian Seven Summits itu baru awalan. Pengalaman itu jadi modal saya menghadapi hidup setelahnya,’’ ucapnya. Perempuan 35 tahun tersebut masih ingin meraih banyak hal. Selain menuntaska­n dua pendakian buat menggenapi tujuh puncak, Basnet ingin melakukan banyak hal. ’’Saya sangat rakus untuk urusan ini,’’ katanya, lantas tertawa. Berikut wawancara dengan Basnet sebelum mengisi seminar Entreprene­urs’ Organizati­on Indonesia East di Surabaya awal April lalu.

Anda besar di Kathmandu, Nepal, yang sangat dekat dengan Pegunungan Himalaya. Apakah sejak kecil Anda punya hobi mendaki gunung atau bukit?

Tidak. Kalau Anda tanya anak-anak usia sekolahan di Kathmandu atau di kota-kota di Nepal lain, mereka mungkin menjawab sama. Di sekolah, kami nyaris tidak mendapat pelajaran olahraga. Kami jarang banget punya kegiatan outdoor.

Setidaknya Anda punya cita-cita mendaki Gunung Everest, kan?

Impian saya waktu itu tidak mulukmuluk sih. Bisa main tenis, basket, atau kegiatan outdoor. Hahaha.

Intinya, saya ingin lebih aktif. Makanya, setelah kuliah, saya memutuskan jadi jurnalis karena memungkink­an saya banyak beraktivit­as di luar ruangan dan banyak bergerak.

Lalu, bagaimana bisa Anda masuk Seven Summits Women Team?

Pada sekitar 2007 atau 2008, ada seleksi untuk Seven Summits Women Team yang dilakukan beberapa organisasi di Nepal. Sasarannya, perempuan muda Nepal dari beragam latar belakang yang tertarik melakukan pendakian. Saya mencoba mendaftar dan diterima.

Apakah tidak ada tentangan dari orang tua atau keluarga?

Di Nepal, masih banyak diskrimina­si terhadap perempuan. Mereka dipaksa menikah muda, dijodohkan pada usia belasan tahun, dan lain sebagainya. Namun, saya bersyukur memiliki keluarga yang sangat suportif. Mereka mendukung keputusan saya ikut ekspedisi tersebut.

Bagaimana persiapan menjelang pendakian pertama?

Karena kami berbasis di Nepal, pendakian pertama langsung dilakukan di Gunung Everest. Saya dan enam anggota tim lain mengikuti kelas persiapan dan pengarahan. Selanjutny­a, kami berlatih selama 45 hari, langsung di base camp pertama. Setelah itu, kami dilepas. Hanya ada tim serta dua Sherpa (warga asli sekitar Himalaya yang menjadi pemandu, Red) yang juga perempuan.

Seperti apa pendakian pertama itu?

Saya deg-degan. Kami beruntung dan bersyukur bisa sampai ke puncak. Kami harus benar-benar memperhitu­ngkan setiap langkah dan tindakan. Meleset sedikit saja, nyawa menjadi taruhannya.

Bagaimana perasaan setelah mencapai puncak?

Senang, lega, dan bangga. Pendakian Everest adalah pengalaman hidup yang

diringkas jadi beberapa hari saja. Pengalaman itu memberi kami power. Kami adalah perempuan dari keluarga biasa, tidak kaya, tapi bisa mencapai Everest. We never looked back. Kami memutuskan bersama sebagai tim. Saya memilih resign dari pekerjaan saya.

Selain Everest, kalian mendaki enam puncak tertinggi dan memberikan motivasi di sekolahsek­olah setempat. Motivasi seperti apa yang kalian berikan?

Konsepnya lebih seperti sharing. Kami menuturkan yang dilalui selama pendakian. Mereka juga menceritak­an pengalaman­nya. Ada interaksi saling dengar, saling bicara. Kami ingin menekankan, terutama buat para anak muda dan perempuan, kalian bisa menjadi apa pun. Tidak peduli seperti apa latar belakang kita.

Apakah ada momen sulit ketika pendakian?

Saat pendakian, kami berusaha optimistis ketika ada masalah. Sesulit apa pun, pasti ada jalan. Kami sudah melewati latihan dari orang-orang yang berpengala­man, jadi pasti bisa. Kalau kami tidak punya mindset seperti itu, posisi hidup-mati terasa lebih menakutkan.

Antar pendakian ada jeda beberapa tahun. Apa yang kalian lakukan?

Jujur, sebagian di antara kami menganggur. Termasuk saya. Sebagian lainnya bekerja. Saya sempat mengalami depresi selama fase ini.

Bagaimana mengatasi kebosanan selama masa jeda?

Saya open mic, membuka panggung

stand-up comedy di sebuah kafe di Kathmandu pada 2011. Saya mempelajar­inya dari internet dan suami. Saya menyiapkan lokasi hingga naskah komedi. Lumayan menantang karena saat itu stand-up comedy belum setenar sekarang. Saya sering diundang sebagai pembicara dan motivator. Itulah yang saya kerjakan sampai sekarang!

Public speaking dan mendaki gunung adalah dua hal yang amat kontras. Penyesuaia­n dirinya bagaimana?

Keduanya sama-sama tidak tertebak, tapi punya tantangan berbeda. Saat mendaki gunung, perhitunga­n perbekalan, jarak tempuh, dan persiapan fisik harus presisi. Taruhannya, hidup atau mati. Sementara itu, ketika tampil di depan umum, penonton mungkin hanya diam atau berteriak boo! saat saya gagal. Reputasi saya menjadi taruhan. Yang bisa saya bilang, public speaking dan

mountainee­ring sama-sama butuh persiapan.

 ?? GHOFUUR EKA/ JAWA POS ?? KELILING DUNIA: Shailee Basnet tampil sebagai pembicara seminar Entreprene­urs’ Organizati­on Indonesia East di Surabaya.
GHOFUUR EKA/ JAWA POS KELILING DUNIA: Shailee Basnet tampil sebagai pembicara seminar Entreprene­urs’ Organizati­on Indonesia East di Surabaya.
 ?? POS SUMMITS WOMEN TEAM FOR JAWA SEVEN ?? TIM TANGGUH: Shailee Basnet (dua dari kiri, jongkok) bersama Seven Summits Women Team mencapai puncak Gunung Kilimanjar­o, Tanzania, Afrika.
POS SUMMITS WOMEN TEAM FOR JAWA SEVEN TIM TANGGUH: Shailee Basnet (dua dari kiri, jongkok) bersama Seven Summits Women Team mencapai puncak Gunung Kilimanjar­o, Tanzania, Afrika.
 ?? SEVEN SUMMITS WOMEN TEAM FOR JAWA POS ?? MOMEN MEMBANGGAK­AN: Shailee Basnet di puncak Gunung Everest.
SEVEN SUMMITS WOMEN TEAM FOR JAWA POS MOMEN MEMBANGGAK­AN: Shailee Basnet di puncak Gunung Everest.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia