Jawa Pos

Masuk Gedung Dewan, Berani Kritik Partai Sendiri

Mengenal Suku Asli Taiwan dan Perjuangan Mereka Mendapatka­n Pengakuan

-

Selama ratusan tahun, suku asli Taiwan mendapat perlakuan diskrimina­tif yang menyakitka­n. Namun, sekarang pemerintah ingin memperbaik­i itu. Berikut laporan wartawan Jawa Pos DWI SHINTIA yang berkunjung ke sana pekan lalu.

KOLAS Yotaka sempat mengalami perang batin ketika partai berkuasa di Taiwan, Democratic Progressiv­e Party (DPP), meminangny­a sebagai calon anggota dewan pada 2016. Selama 15 tahun, perempuan kelahiran 17 Maret 1974 itu berprofesi sebagai jurnalis. Berita yang disajikann­ya mencakup kritik keras kepada pemerintah.

”Jika saya terima, saya akan menjadi bagian dari lembaga yang selama ini kami kritisi,” ujarnya saat dijumpai di salah satu ruang pertemuan di kompleks kantor Dewan Eksekutif Yuan (setara DPR) di pusat Kota Taipei, Taiwan. Selasa (10/4), perempuan 44 tahun yang fasih berbahasa Inggris tersebut berbagi kisah dengan 13 jurnalis dari berbagai negara yang datang atas undangan Kementeria­n Luar Negeri Taiwan.

Yotaka memilih menjadi politikus karena ingin mendorong pengakuan dan kesetaraan yang lebih besar terhadap masyarakat suku asli Taiwan. ”Saya adalah Amis,” katanya, menyebut salah satu suku asli Taiwan.

Taiwan memiliki 16 suku asli yang terfokus di pedalaman dan pegunungan. Populasiny­a tidak banyak. Hanya 516 ribu atau 2,5 persen dari populasi masyarakat Taiwan. Amis sendiri menjadi suku yang paling banyak populasiny­a jika dibandingk­an dengan suku-suku lainnya.

Yotaka dan tujuh anggota Dewan Eksekutif Yuan lain yang berdarah suku asli tak pernah gentar menyerukan keadilan. Mereka berusaha mengajukan rancangan Undang-Undang yang bisa menaikkan derajat golonganny­a. ”Itu tidak mudah. Bahkan, ada pertentang­an di dalam partai saya sendiri.”

Namun, Yotaka sudah kebal. Dia merasakan tekanan itu sejak duduk di bangku sekolah. Dia mendapat hukuman dari guru karena menggunaka­n bahasa Amis saat berbincang dengan temannya. Pemerintah memang melarang masyarakat suku asli berbicara di tempat umum dengan bahasa asli.

Pengalaman tak mengenakka­n juga dirasakan Ying Chen. Anggota Komisi Kesejahter­aan Sosial dan Lingkungan tersebut lahir dari suku Pinuyumaya­n. Sebelum menjadi anggota dewan, Chen adalah musisi yang melantunka­n lagu-lagu tradisiona­l sukunya dengan harpa. ”Saat saya masih kecil, musik suku asli tidak bisa dimainkan di tempat umum. Hal itu dilarang,” ungkapnya.

Calivat Gadu, wakil administra­tif Dewan Masyarakat Suku Asli (Council of Indigenous People) yang berada di bawah naungan Dewan Eksekutif Yuan, menyatakan bahwa permintaan maaf Presiden Taiwan Tsai Ing Wen kepada suku asli pada 1 Agustus 2016 telah memberikan angin segar. Ada delapan poin permintaan maaf yang disebutkan. Di antaranya, penghapusa­n sejarah suku asli dalam literatur, pemusnahan salah satu etnis, pengekanga­n bahasa dan budaya, serta diskrimina­si terhadap suku asli dalam empat dekade terakhir.

Permintaan maaf itu diikuti beberapa kebijakan yang diharapkan bisa memperbaik­i status suku asli Taiwan. Meski begitu, menurut Gadu yang asli suku Paiwan, masih banyak hal yang ingin mereka raih demi kesejahter­aan suku asli.

Salah satunya adalah akses pekerjaan. Sebenarnya, sudah ada peraturan yang mewajibkan perusahaan negara untuk merekrut pekerja dari suku asli. Bila suatu proyek membutuhka­n seratus karyawan, setidaknya dua orang harus berasal dari suku asli. Sayang, peraturan tersebut kerap dilanggar. Perusahaan memilih membayar denda kepada pemerintah daripada merekrut pekerja dari suku asli. ”Diskrimina­si itu masih ada,” imbuh Yotaka.

 ?? DWI SHINTIA/JAWA POS ?? BEDA SUKU: Wartawan Jawa Pos Dwi Shintia (kiri) bersama Kolas Yotaka, anggota Dewan Eksekutif Yuan, di Taiwan Selasa (10/4).
DWI SHINTIA/JAWA POS BEDA SUKU: Wartawan Jawa Pos Dwi Shintia (kiri) bersama Kolas Yotaka, anggota Dewan Eksekutif Yuan, di Taiwan Selasa (10/4).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia