Dari Bandung, Melawan Neokolonialisme Global
Lewat buku ini, Wildan Sena mengulas dengan tajam asal usul Konferensi Asia-Afrika (KAA). Di dalam konferensi tersebut sesungguhnya ada banyak kompleksitas yang rentan memicu ketegangan.
MESKI sudah lewat enam dekade, pengaruh Konferensi Asia-Afrika (KAA) masih terasa hingga kini. Tak hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi tatanan dunia.
Lewat KAA yang berlangsung pada 18–24 April 1955 itu, dunia mengenang Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang memelopori kerja sama dan gerakan anti penjajahan di antara bangsa-bangsa Asia-Afrika. Yang berarti mewakili separo penduduk bumi.
Peran Indonesia itu adalah pencapaian tersendiri. Mengingat kala itu banyak yang ragu dengan kemampuan Indonesia, sebuah negara yang baru sedekade merdeka dan penuh dengan problem internal.
Lewat buku ini, sejarawan lulusan Universiteit Leiden Wildan Sena mengulas dengan tajam asal usul KAA. Serta pelaksanaannya di tengah proses dekolonialisasi yang terjadi di Asia dan Afrika. Serta eskalasi konflik antara dua negara adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.
Berbeda dengan kajian-kajian lain tentang KAA yang fokus pada konferensinya sendiri, studi Wildan menukik lebih jauh. Bagi dia, inisiatif untuk konferensi itu tidak datang begitu saja. Ia melacak akar dari solidaritas antarbangsa Asia-Afrika hingga ke lahirnya nasionalisme di Asia-Afrika tahun 1920-an. Juga, kemunculan negara-negara merdeka di Asia-Afrika pada paro kedua 1940an. Serta keprihatinan para pemimpin Asia akan konflik di Korea dan Vietnam pada periode 1950-an.
Awalnya adalah Kongres Melawan Penindasan Kolonial dan Imperialisme yang dihelat di Brussel (1927). Di situ hadir para tokoh muda dari Asia dan Afrika yang dalam beberapa dekade kemudian menjadi nasionalis besar.
Dua di antaranya: Jawaharlal Nehru yang mewakili Indian National Congress dan Mohammad Hatta yang merepresentasikan Perhimpunan Indonesia.
Era 1950-an dibuka dengan lahirnya tiga blok baru di dunia. Yaitu, 1) kapitalis Barat yang diwakili AS, Eropa Barat, dan Jepang. Lalu, 2) sosialis Timur yang ditopang Uni Soviet, Eropa Timur, dan Tiongkok. Dan, 3) apa yang oleh sejarawan Prancis Albert Sauvy sebut sebagai ”Tiers Monde” atau Dunia Ketiga yang terdiri atas negara-negara bekas jajahan Barat yang baru merdeka dan tidak memihak kepada dua blok besar di atas.
Setelah mengusir penjajah, Dunia Ketiga bertekad melawan kolonialisme bentuk baru. Mereka juga hendak menyuarakan kepada dunia aspirasi politik mereka. Ringkasnya, mereka ingin menempatkan Dunia Ketiga sebagai aktor global baru yang tak bisa diabaikan.
KAA adalah pengejawantahan cita-cita tersebut. Pemrakarsanya Sri Lanka, India, Pakistan, Burma, dan Indonesia. Sebanyak 29 negara Asia-Afrika mengirimkan utusannya ke Bandung. Dari kota ini lahirlah Dasasila Bandung, yang menekankan pada kedaulatan semua bangsa, hak membela diri, egalitarianisme, antiintervensi dan anti-agresi, kerja sama antarbangsa, serta penyelesaian sengketa secara damai. Efek KAA tak berhenti sampai di situ.
Semangat KAA melahirkan Gerakan Non-Blok (GNB). Yang selama hampir setengah abad, di tengah berbagai kesulitan, berusaha keras mewujudkan perdamaian dunia.
Penulis buku ini mengingatkan bahwa meski KAA memberikan kesan tentang bersatunya Asia-Afrika, tapi sesungguhnya ada banyak kompleksitas yang rentan memicu ketegangan dalam konferensi itu. Bagaimana, umpamanya, mempertemukan dua negara Asia yang bertetangga namun berkonflik seperti India dan Pakistan?
Atau bagaimana bersikap terhadap Tiongkok yang dituduh subversif oleh Thailand?
Karena itu, kesuksesan di balik terselenggaranya KAA juga harus dibaca sebagai kepiawaian diplomasi di antara negara-negara pemimpinnya. Termasuk Indonesia, tentu saja.
Sesuai dengan temanya, buku ini memakai bahan yang bernuansa global. Mulai arsip Indonesia, Belanda, Amerika, hingga PBB. Namun, walaupun kaya informasi, sumber ini cenderung Indonesia-sentris dan Anglo-Saksonsentris. Karena itu, masih kurang dalam merepresentasikan perspektif para peserta KAA sendiri, terutama dari Afrika. (*)