Perempuan dan Tantangan Penegakan Hukum
SETIAP 21 April perjuangan Kartini untuk emansipasi perempuan dalam kehidupan masyarakat Indonesia diperingati. Akan tetapi, peringatan hari tersebut tidak diiringi perbaikan perlindungan hukum terhadap perempuan. Masih banyak praktik diskriminasi ataupun kekerasan terhadap kaum hawa di Indonesia. Komnas Perempuan (2018) mencatat, sepanjang tahun lalu terjadi 348.446 kasus kekerasan perempuan. Ada kenaikan signifikan jika dibandingkan dengan kasus tahun lalu yang berjumlah 259.150 kasus.
Catatan tersebut sangat memprihatinkan. Sebab, kondisi itu memperlihatkan bagaimana perempuan di Indonesia masih rentan menjadi korban kekerasan. Ketika perempuan menjadi korban kekerasan, tentu saja harapannya proses penegakan hukum bisa menjadi tempat para korban untuk menemukan keadilan. Sayangnya, proses penegakan hukum di Indonesia kerap kali dinilai belum memiliki perspektif perlindungan terhadap korban, terutama terhadap perempuan.
Catatan MaPPI-FHUI (2016) menemukan masih adanya pelabelan negatif dari hakim terhadap kondisi riwayat seksual korban. Terdapat suatu kasus bahwa hakim seolah-olah membenarkan praktik pemerkosaan terjadi karena korban tergolong sebagai perempuan nakal dengan alasan sudah pernah berhubungan seksual dan suka mabuk-mabukan. Hakim cenderung mengabaikan kondisi psikologis korban dan mengabaikan fakta akan kekerasan dan pemaksaan oleh pelaku terhadap korban.
Selain itu, aparat cenderung mengajukan pertanyaan yang cenderung merendahkan dan tidak memiliki sensitivitas gender. Contohnya pertanyaan aparat apakah korban menikmati persetubuhan yang dilakukan pelaku atau mempertanyakan kenapa korban tidak berteriak atau melawan pemaksaan dari pelaku. Apalagi, terdapat kondisi penegak hukum menyalahkan korban karena bentuk pakaiannya yang dinilai minim.
Kondisi tersebut berdampak buruk bagi sisi psikologis korban untuk mengadukan kasusnya ke penegak hukum. Korban cenderung memilih diam dan tidak melakukan perlawanan terhadap pelaku. Menurut survei daring Lentera Sintas Indonesia (2016), terdapat 93 persen penyintas kekerasan seksual yang tidak melaporkan kasusnya ke aparat. Dampak buruknya, pelaku pemerkosaan dapat hidup bebas di tengah kehidupan masyarakat dan tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
Melihat catatan-catatan itu, perlu adanya suatu tindakan yang tegas dari pemerintah, khususnya institusi penegak hukum, untuk merespons permasalahan tersebut melalui kebijakan maupun tindakan. Be- berapa peraturan perlu diadaptasi maupun disesuaikan kondisinya untuk mencegah adanya praktik diskriminatif aparat penegak hukum selama proses peradilan.
Akan tetapi, bukan berarti tidak ada satu pun langkah inisiatif untuk menanggapi permasalahan tersebut. Mahkamah Agung (MA) pada 2017 mencoba menyikapinya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Perma tersebut berusaha menjawab beberapa permasalahan yang kerap menjadi permasalahan ketika hakim menangani perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Misalnya, hakim tidak boleh berperilaku diskriminatif, merendahkan perempuan, dan menggunakan riwayat seksual korban sebagai dasar pertimbangan memutus suatu perkara.
Sebagai perbandingan, bentuk pengaturan seperti itu sudah pernah diterapkan rape shield law di Amerika Serikat di mana aturan tersebut membatasi hakim untuk menggunakan riwayat seksual sebagai alat bukti di persidangan. Dampak positifnya, terjadi peningkatan 6 hingga 24,4 persen perkara pemerkosaan yang disidangkan di pengadilan dan diikuti dengan meningkatnya penghukuman kepada pelaku pemerkosaan sebanyak 7 sampai 50 persen (1970–1984).
Inisiatif MA tersebut patut diapresiasi. Meski demikian, perma itu perlu di implementasi kan agar peraturan tersebut dapat diketahui dan digunakan para pihak. Termasuk oleh para hakim itu sendiri. Bentuk sosialisasi kepada hakim, aparat penegak hukum, dan praktisi amat diperlukan. Peran masyarakat sipil serta paralegal juga tidak kalah penting. Selain sebagai pendamping korban, dua pihak tersebut bisa menjadi jembatan untuk menyosialis asi k andan memberikan pemahaman mengenai peraturan tersebut kepada korban. Sehingga ke depannya para korban maupun pendampingnya bisa mencatat dan melapor kepada Badan Pengawasan MA jika menemukan adanya hakim yang tidak mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada dalam perma itu.
Langkah yang telah diambil MA perlu diikuti penyusun undangundang maupun aparat penegak hukum lainnya. Bagaimanapun, proses peradilan tidak bisa bergantung pada kinerja hakim sendiri. Proses peradilan dimulai saat proses penyidikan dimulai hingga eksekusi putusan hakim oleh penuntut umum. Sehingga peran kepolisian maupun kejaksaan tidak bisa serta-merta dilupakan. Apalagi, pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) sejak 1984 di mana pemerintah berkomitmen mengadopsi ketentuan ketentuan yang ada dalam CEDAW ketika menyusun peraturan perundang-undangan.
Saat ini pemerintah dan DPR menyusun Rancangan UU KUHP dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sangat krusial dalam mengatur perlindungan hak perempuan dalam proses peradilan. Sehingga ketentuanketentuan yang ada dalam CEDAW maupun Perma 3/2017 bisa menjadi rujukan ketika menyusun ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hak perempuan ketika berada dalam proses peradilan.
Harapannya, perempuan yang menjadi korban tidak perlu takut untuk melaporkan kasusnya ataupun memberikan kesaksian selama persidangan. (*)
*) Ketua harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI)