Siapa pun Cetak Rekor Nasional Dapat Rp 13 Miliar
Yuki Kawauchi dan Obsesi Besar Jepang Menuju Tokyo 2020
SIAPA pun pasti kaget saat menyaksikan Yuki Kawauchi berlari kencang menyalip pelari-pelari Kenya menuju finis dan memenangi Boston Marathon 16 April lalu. Seorang pelari Jepang memenangi ajang mayor dunia di tengah kondisi cuaca yang berat, bagaimana bisa? Adharanand Finn pernah melakukan riset dan menulis buku berjudul The Way of the Runner: A Journey into the Fabled World of Japanese Running. Kali ini secara eksklusif dia menulis untuk Jawa Pos mengenai fenomena Kawauchi tersebut.
LEBIH dari satu dekade terakhir, kita terbiasa menyaksikan pelaripelari Afrika Timur memenangi setiap ajang lari jarah jauh, terutama maraton. Saking seringnya, muncul pertanyaan dari banyak orang di sekitar kita: Akankah pelari nonAfrika Timur bisa memenangi sebuah ajang maraton mayor lagi?
Pada 2013, misalnya, 59 waktu tercepat maraton di dunia dibukukan pelari dari Afrika Timur. Sebagian besar asal Kenya, lalu Ethiopia, dan Eritrea. Dari 100 pelari maraton top dunia, hanya enam yang bukan berasal dari Afrika. Yang menarik, lima di antaranya dari Jepang.
Saya merujuk 2013 karena saat itu saya sedang tinggal di Jepang melakukan riset untuk menulis buku tentang obsesi besar –yang tidak diketahui banyak orang– masyarakat Negeri Samurai itu pada lari jarak jauh. Yang saya temukan sungguh mengejutkan. Sebuah kultur lari yang sangat kuat dengan tim-tim dan atlet profesional berkompetisi pada level persaingan superketat. Karena itu pula, saya tidak terlalu terkejut melihat pelari Jepang menjuarai ajang maraton besar.
Saya menemukan bahwa Jepang memiliki sejarah maraton yang panjang dan kaya. Saat olahraga lari booming di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat pada akhir 1970-an dan 1980-an, dan para pelari Kenya baru mulai turun di maraton dunia pada 1990-an,
Jepang sebenarnya memulainya jauh lebih awal. Tepatnya pasca-Perang Dunia
II di akhir 1940-an. Sebagian dari ajang maraton besar di Jepang saat ini, misalnya Fukuoka dan Danau Biwa maraton, dimulai sejak tahuntahun tersebut. Termasuk ajang lari jarak jauh yang sangat populer di Jepang, ekiden.
Pada pertengahan 1960, para pelari Jepang mendominasi ranking dunia sebanyak pelari Kenya hari ini. Contohnya, pada 1965, 18 dari 25 waktu tercepat maraton dunia dibukukan pelari Jepang. Di Boston Marathon pada tahun itu, tiga finisher terdepan semuanya pelari Jepang. Saat ini, nyaris semua pelari maraton Jepang adalah atlet-atlet murni atau full time. Mereka dibiayai, digaji, dan didukung tim korporat yang berlaga di berbagai maraton, termasuk ekiden, demi gengsi perusahaan. Lomba-lomba maraton tersebut berkaliber sangat besar di Jepang. Salah satu yang paling spektakuler adalah Hakone ekiden. Ajang ini, saking hebohnya, sampai membuat seluruh negeri seakan ’’terhenti’.’ Hakone ekiden adalah ajang tahunan terbesar di Jepang. Jumlah penontonnya hanya bisa ditandingi oleh Super Bowl di AS. Bintang-bintang besarnya adalah pelari yang sangat kondang di Jepang dan memiliki penggemar setia. Dengan lingkungan kompetisi sangat ketat, Jepang memiliki ribuan pelari maraton profesional, yang memang hidup dari gaji sebagai pelari. Tidak ada tempat lain di dunia yang memiliki kultur seperti ini dengan skala besar layaknya di Jepang.
Jika Anda mempelajari sejarah, dan menyaksikan sendiri begitu besarnya gairah dan kecintaan Jepang terhadap lari, Anda pasti bertanya: mengapa butuh waktu begitu lama bagi pelari Jepang untuk menjuarai sebuah ajang mayor? Ingat, kali terakhir Jepang juara adalah pada 1987.
Jawabannya adalah karena tidak semua yang ada di Jepang selalu berjalan dengan sempurna. Pertama, tentu saja, karena kebangkitan pelari-pelari Afrika Timur dengan segala talenta alaminya. Didukung dengan iming-iming hadiah besar, memenangi maraton bagi pelari Kenya tidak hanya akan mengubah hidup mereka, tapi juga keluarga dan seluruh daerah asalnya.
Isu besar lainnya adalah berkembangnya tren ekiden ketimbang maraton. Unsur tim dalam balapan ini membuat atletnya terlalu berfokus untuk memuaskan para pendukungnya. Selain itu, pada masyarakat Jepang pada umumnya, hidup rasa tanggung jawab yang besar terhadap orang lain. Karena itu, kesuksesan tim lebih penting ketimbang prestasi individu. Nah, ekiden ikut menggelorakan nilai-nilai tersebut.
Tapi, latihan ekiden dan maraton berbeda. Ekiden cenderung berjarak lebih pendek. Waktunya berlangsung pada saat yang sangat mengganggu persiapan untuk ajang maraton di musim semi dan musim gugur.
Banyak ahli di Jepang yang meyakini meningkatnya popularitas ekiden sebagai faktor utama anjloknya daya saing pelari lokal di ajang maraton dunia. Dengan Olimpiade Tokyo 2020 sudah di depan mata, federasi olahraga lari Jepang sadar bahwa mereka perlu melakukan sesuatu untuk mengubah fokus latihan kembali ke maraton. Karena sebuah medali emas di cabang maraton di Tokyo bakal menjadi kado spesial bagi obsesi besar Jepang.
Kini fokus mereka berubah. Jepang sedang berjuang mengembalikan maraton sebagai event nomor satu di sana. Federasi lari nasional telah mencapainya melalui sejumlah inisiatif. Salah satunya adalah mendirikan skuad pelatihan dan iming-iming hadiah USD 1 juta (sekitar Rp 13,8 miliar) bagi siapa pun yang mampu memecahkan rekor maraton nasional Jepang. Hasilnya sudah mulai terasa. Selain Kawauchi menang di Boston, di Tokyo Marathon Yuta Shitara sukses finis runner-up sekaligus mematahkan rekor nasionalnya sendiri 2 jam 6 menit 11 detik.
Tapi, sukses Kawauchi di Boston sebagian besar memang karena faktor personal. Menarik untuk dicatat, Kawauchi adalah satu dari segelintir saja pelari Jepang yang bukan anggota tim ekiden di bawah korporat. Meski sesekali turun di ajang ekiden, fokus utamanya selalu maraton.
Dan di Jepang, Kawauchi dikenal sebagai sosok yang selalu bersemangat dan memiliki determinasi tinggi setiap kali tampil berlari. Hal itu tampak ketika dia berlaga di Boston di mana kondisi cuaca sangat buruk. Bahkan menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah maraton dunia. Suhu dingin, terpaan angin, dan hujan deras, sebuah atmosfer balapan yang cocok untuk petarung-petarung kuat. Seseorang yang terbiasa memberikan 100 persen dari kemampuannya.
Itulah kekuatan terbesar Kawauchi. Boston Marathon 2018 seperti diciptakan untuk dia. Dan sekarang Jepang berharap Kawauchi bisa menginspirasi seseorang untuk mengulang pameran ketangguhan tersebut di Tokyo 2020.
*) Penulis buku best seller The Way of the Runner dan Running with the Kenyans