Diskusi Bukan Cuma soal Teknik Bikin Film
Perkumpulan Sinema Intensif Giatkan Kajian Sinema
Sama seperti buku, film bisa dibaca. Bedanya, teks yang dibaca dalam film bukan deretan huruf. Melainkan gambar visual. Dari membaca secara visual itulah, sekumpulan pemuda ini berusaha mempelajari banyak hal.
MENONTON film. Kegiatan itu biasanya jadi pilihan orang-orang, terutama anak muda, untuk melepas penat. Jenis aktivitasnya santai. Padahal, ketika menikmati film, penonton tetap diajak ”berpikir”. Mereka diajak membaca teks berupa gambar. Jika mau membaca dengan teliti, banyak pesan yang tersirat dalam sebuah film.
Pesan-pesan itulah yang berusaha dikulik oleh sejumlah pemuda yang tergabung dalam Sinema Intensif. Nama tersebut baru muncul belakangan setelah mereka rutin mengadakan kegiatan membaca film bersama.
Salah satunya adalah Wimar Herdanto. Pemuda yang sehari-hari sibuk sebagai kreator video itu menggeluti dunia film sejak kuliah. Dia dan temantemannya sering membuat film sendiri, rata-rata berdurasi pendek. Ketertarikannya pada film tentu diawali oleh kegemarannya membaca sesuatu setiap menonton film.
Ditemui di salah satu kafe di Gubeng Minggu (15/4), Wimar bercerita tentang perkumpulan yang aktif sejak 2015 itu. ”Awalnya cuma ingin nonton biasa sama teman-teman kampus di kos-kosan,” tuturnya. Karena sama-sama penggemar film, mereka membuat kesepakatan ketika mengadakan acara nobar tersebut. Tidak hanya menonton, mereka juga berdiskusi setelah filmnya selesai J
Frekuensi menonton film cukup sering di awal-awal dulu. ”Bisa sampai tiga kali seminggu,” ujar pemuda jangkung tersebut. Salah satu anggota bakal ditunjuk untuk memilih film yang bakal mereka tonton. Bisa juga ada yang menawarkan diri untuk memberikan pilihan tontonan. Pokoknya, yang memilihkan film harus sudah menonton film tersebut. Kalau perlu, sekalian menyiapkan bahan diskusi dari film itu.
Diskusinya bukan cuma soal teknik. Wimar mengakui, yang dicari para calon sineas muda seperti mereka adalah bagaimana menghasilkan karya visual yang bagus. Yang enak dilihat. Tekniknya harus matang. ”Tapi, bukan itu tujuan kita diskusi. Kita diskusi lebih secara kontekstual,” jelasnya. Maksudnya, apa pesan yang mereka tangkap dari setiap unsur visual yang muncul dalam sebuah film.
Misalnya, mengapa sutradara memilih pencahayaan yang agak biru atau kuning. Kesan apa yang ingin disampaikan sutradara lewat pencahayaan tersebut. Semakin dikulik, Wimar dan kawan-kawannya menemukan semakin banyak benang merah antara item-item dalam film dan pesan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Salah satunya kritik sosial.
Sekali nonton bareng, yang ikut bisa tujuh hingga sepuluh orang. Pesertanya pun berganti-ganti. ”Pokoknya, kalau ditotal, ada lebih dari 20 orang. Datangnya bergantian,” lanjutnya. Namun, tidak semua akhirnya bergabung dalam Sinema Intensif. Ada yang kemudian pindah ke luar kota, melanjutkan kegiatan masingmasing. Tersisa sekitar 15 orang yang kini aktif menjalankan perkumpulan itu.
Berbulan-bulan menjalani rutinitas nonton bareng, mereka terpikir untuk melebarkan kegiatan tersebut. Bukan untuk kalangan sendiri saja, melainkan juga melibatkan lebih banyak orang. Akhirnya, mereka mengumumkan secara resmi eksistensinya dalam sebuah festival film.
Perhelatan bertajuk Festival Cilik atau Festcil itu dikemas mirip festival film pada umumnya. Nah, bedanya, mereka ingin menularkan kebiasaan mengkaji cerita dan visual film. Tidak sekadar nonton bareng dan membahas teknikteknik produksi film.
”Sebenarnya, yang seperti Sinema Intensif ini sudah ada di kota-kota lain. Paling banyak di Jogja,” terang pria yang juga aktif mengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga tersebut. Namun, memang baru perkumpulannya yang menerapkan konsep kajian film di Surabaya. Wimar mengakui, memang agak sulit menumbuhkan komunitas membaca film di sini. ”Kalau komunitas produksi film, banyak. Terutama kampuskampus,” lanjutnya.
Soal produksi, sebenarnya Surabaya tidak kalah oleh kota lain. Dalam setahun, setidaknya satu komunitas bisa menghasilkan lima film, baik panjang maupun pendek. Tapi, memang tidak semua film itu kemudian tampil dalam festival mereka. Film-film yang akan ditampilkan diseleksi lebih dahulu. Kalau bisa, seleksi tersebut disesuaikan dengan tema.
Tema yang dipilih biasanya unik-unik. Dia mencontohkan salah satu tema yang diadaptasi dari festival film di Bandung. Temanya halaman belakang. ”Bukan berarti harus ambil gambar di halaman belakang sih, tapi bagaimana film itu menampilkan sesuatu yang jarang dilihat. Ibaratnya, halaman belakang yang jarang terlihat dari depan rumah,” paparnya.
Selain festival, mereka cukup sering mengadakan forum diskusi. Misalnya, pekan lalu mulai Kamis (12/4) hingga Sabtu (14/4), diadakan diskusi yang bertajuk Film, Musik, Makan. Setiap diskusi, mereka menyiapkan kurasi untuk dibagikan kepada peserta. Kurasi itu bakal menjadi semacam kisi-kisi untuk diskusi. ”Jadi, nggak ada lagi yang tanya soal teknik pengambilan gambar. Tanyanya sesuai dengan kurasi itu,” jelasnya.