Jawa Pos

Diskusi Bukan Cuma soal Teknik Bikin Film

Perkumpula­n Sinema Intensif Giatkan Kajian Sinema

- DEBORA DANISA SITANGGANG

Sama seperti buku, film bisa dibaca. Bedanya, teks yang dibaca dalam film bukan deretan huruf. Melainkan gambar visual. Dari membaca secara visual itulah, sekumpulan pemuda ini berusaha mempelajar­i banyak hal.

MENONTON film. Kegiatan itu biasanya jadi pilihan orang-orang, terutama anak muda, untuk melepas penat. Jenis aktivitasn­ya santai. Padahal, ketika menikmati film, penonton tetap diajak ”berpikir”. Mereka diajak membaca teks berupa gambar. Jika mau membaca dengan teliti, banyak pesan yang tersirat dalam sebuah film.

Pesan-pesan itulah yang berusaha dikulik oleh sejumlah pemuda yang tergabung dalam Sinema Intensif. Nama tersebut baru muncul belakangan setelah mereka rutin mengadakan kegiatan membaca film bersama.

Salah satunya adalah Wimar Herdanto. Pemuda yang sehari-hari sibuk sebagai kreator video itu menggeluti dunia film sejak kuliah. Dia dan temanteman­nya sering membuat film sendiri, rata-rata berdurasi pendek. Ketertarik­annya pada film tentu diawali oleh kegemarann­ya membaca sesuatu setiap menonton film.

Ditemui di salah satu kafe di Gubeng Minggu (15/4), Wimar bercerita tentang perkumpula­n yang aktif sejak 2015 itu. ”Awalnya cuma ingin nonton biasa sama teman-teman kampus di kos-kosan,” tuturnya. Karena sama-sama penggemar film, mereka membuat kesepakata­n ketika mengadakan acara nobar tersebut. Tidak hanya menonton, mereka juga berdiskusi setelah filmnya selesai J

Frekuensi menonton film cukup sering di awal-awal dulu. ”Bisa sampai tiga kali seminggu,” ujar pemuda jangkung tersebut. Salah satu anggota bakal ditunjuk untuk memilih film yang bakal mereka tonton. Bisa juga ada yang menawarkan diri untuk memberikan pilihan tontonan. Pokoknya, yang memilihkan film harus sudah menonton film tersebut. Kalau perlu, sekalian menyiapkan bahan diskusi dari film itu.

Diskusinya bukan cuma soal teknik. Wimar mengakui, yang dicari para calon sineas muda seperti mereka adalah bagaimana menghasilk­an karya visual yang bagus. Yang enak dilihat. Tekniknya harus matang. ”Tapi, bukan itu tujuan kita diskusi. Kita diskusi lebih secara kontekstua­l,” jelasnya. Maksudnya, apa pesan yang mereka tangkap dari setiap unsur visual yang muncul dalam sebuah film.

Misalnya, mengapa sutradara memilih pencahayaa­n yang agak biru atau kuning. Kesan apa yang ingin disampaika­n sutradara lewat pencahayaa­n tersebut. Semakin dikulik, Wimar dan kawan-kawannya menemukan semakin banyak benang merah antara item-item dalam film dan pesan yang berhubunga­n dengan kehidupan sehari-hari. Salah satunya kritik sosial.

Sekali nonton bareng, yang ikut bisa tujuh hingga sepuluh orang. Pesertanya pun berganti-ganti. ”Pokoknya, kalau ditotal, ada lebih dari 20 orang. Datangnya bergantian,” lanjutnya. Namun, tidak semua akhirnya bergabung dalam Sinema Intensif. Ada yang kemudian pindah ke luar kota, melanjutka­n kegiatan masingmasi­ng. Tersisa sekitar 15 orang yang kini aktif menjalanka­n perkumpula­n itu.

Berbulan-bulan menjalani rutinitas nonton bareng, mereka terpikir untuk melebarkan kegiatan tersebut. Bukan untuk kalangan sendiri saja, melainkan juga melibatkan lebih banyak orang. Akhirnya, mereka mengumumka­n secara resmi eksistensi­nya dalam sebuah festival film.

Perhelatan bertajuk Festival Cilik atau Festcil itu dikemas mirip festival film pada umumnya. Nah, bedanya, mereka ingin menularkan kebiasaan mengkaji cerita dan visual film. Tidak sekadar nonton bareng dan membahas tekniktekn­ik produksi film.

”Sebenarnya, yang seperti Sinema Intensif ini sudah ada di kota-kota lain. Paling banyak di Jogja,” terang pria yang juga aktif mengajar di Ilmu Komunikasi Universita­s Airlangga tersebut. Namun, memang baru perkumpula­nnya yang menerapkan konsep kajian film di Surabaya. Wimar mengakui, memang agak sulit menumbuhka­n komunitas membaca film di sini. ”Kalau komunitas produksi film, banyak. Terutama kampuskamp­us,” lanjutnya.

Soal produksi, sebenarnya Surabaya tidak kalah oleh kota lain. Dalam setahun, setidaknya satu komunitas bisa menghasilk­an lima film, baik panjang maupun pendek. Tapi, memang tidak semua film itu kemudian tampil dalam festival mereka. Film-film yang akan ditampilka­n diseleksi lebih dahulu. Kalau bisa, seleksi tersebut disesuaika­n dengan tema.

Tema yang dipilih biasanya unik-unik. Dia mencontohk­an salah satu tema yang diadaptasi dari festival film di Bandung. Temanya halaman belakang. ”Bukan berarti harus ambil gambar di halaman belakang sih, tapi bagaimana film itu menampilka­n sesuatu yang jarang dilihat. Ibaratnya, halaman belakang yang jarang terlihat dari depan rumah,” paparnya.

Selain festival, mereka cukup sering mengadakan forum diskusi. Misalnya, pekan lalu mulai Kamis (12/4) hingga Sabtu (14/4), diadakan diskusi yang bertajuk Film, Musik, Makan. Setiap diskusi, mereka menyiapkan kurasi untuk dibagikan kepada peserta. Kurasi itu bakal menjadi semacam kisi-kisi untuk diskusi. ”Jadi, nggak ada lagi yang tanya soal teknik pengambila­n gambar. Tanyanya sesuai dengan kurasi itu,” jelasnya.

 ?? SINEMA INTENSIF FOR JAWA POS ?? SERIUS TAPI SANTAI: Wimar Herdanto (kiri) di salah satu Festival Cilik. Saat itu mereka mengundang sutradara film Ziarah, B.W. Purbanegar­a (tengah).
SINEMA INTENSIF FOR JAWA POS SERIUS TAPI SANTAI: Wimar Herdanto (kiri) di salah satu Festival Cilik. Saat itu mereka mengundang sutradara film Ziarah, B.W. Purbanegar­a (tengah).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia