Jaga Tradisi Nyadran
SIDOARJO – Nyadran bukan semata prosesi dan tradisi larung makanan ke laut lepas sebagai wujud syukur. Namun, ritual yang juga biasa dilakukan warga pesisir Kota Delta itu memiliki nilai budaya. Yakni, budaya Jawa dan Islam.
Persoalan tersebut tertuang dalam buku berjudul Nyadran, Strategi Dakwah Kultural Walisongo. Buku karangan Dr Hartoyo, dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam (IAI) Al Khoziny, tersebut kemarin (22/4) dibedah. Narasumbernya Hartoyo, dosen Fakultas Ilmu Budaya Unair Dr Listiyono Santoso, dan M. Bahrul Amig.
Menurut Hartoyo, nyadran merupakan kegiatan yang ada sebelum Islam masuk Indonesia. Tradisi itu digelar sejak masa kerajaan Hindu. Seusai kemunduran kerajaan Hindu, Islam mulai masuk Jawa. Di antaranya, melalui Walisanga.
Dalam metode pengenalan ajaran Islam, Walisanga tidak memaksakan ajaran. Namun, mereka mengakulturasi dua budaya. Yakni, budaya Jawa dan Islam. Salah satu perpaduan yang sampai saat ini masih ada adalah nyadran.
Dalam nyadran, perpaduan ajaran Islam dan Jawa sangat kental. Ada yang melaksanakannya dengan disertai Yasinan, membaca tahlil, hingga menampilkan kesenian religi albanjari. ’’Dakwah Islam bisa selaras dengan kebudayaan,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Listiyono menyatakan, nyadran adalah peristiwa kultural dalam balutan spiritual. Walisanga mengonsep tradisi tersebut. Kebudayaan yang ada sejak lampau tidak diubah, tetapi ditambahi nilai agama. Sejatinya, nyadran tidak hanya berkembang di wilayah pesisir. Daerah agraris juga mengenalnya.
Amig mengungkapkan, nyadran merupakan salah satu kearifan lokal (local wisdom). Budaya itu harus terus dilestarikan. Banyak nilai positifnya. Termasuk menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk datang ke Sidoarjo. Misalnya, belajar tentang nilai kearifan lokal.