Dibutuhkan Operasi Bersama
JAKARTA – Penertiban terhadap maraknya tenaga kerja asing (TKA) sulit dilakukan di bandara. Ditjen Imigrasi tidak bisa menolak orang asing masuk ke Indonesia apabila mereka memiliki dokumen lengkap. Penertiban akan efisien jika dilakukan dengan operasi di tempat-tempat mereka bekerja.
”Iya (sulit dideteksi, Red). Kan, pelanggaran itu terjadi bukan di airport,” kata Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Agung Sampurno kemarin
J
”Pelanggaran terjadi ketika WNA sudah berada di tempat bekerja,” lanjutnya.
Agung menjelaskan, saat seorang WNA masuk Indonesia dengan dokumen lengkap, pihaknya tak bisa mengira-ngira orang itu akan menjadi TKA ilegal atau tidak. Kecuali, pelanggaran sudah tampak ketika WNA di bandara, pelabuhan, atau border line lain.
Dia menambahkan, selama ini Ditjen Imigrasi telah memberlakukan strategi profiling. Tahun lalu strategi itu bisa mencegah setidaknya 1.500 WNA yang hendak masuk Indonesia. ”Karena diduga salah satu alasannya akan bekerja (secara ilegal, Red),” terang dia.
Karena itu, Agung mengusulkan penguatan Tim Pengawasan Orang Asing (Tim Pora). Tidak hanya dari personel Ditjen Imigrasi, tapi juga diperkuat Polri dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Dengan begitu, WNA yang kemudian menjadi TKA di Indonesia dan melanggar aturan ketenagakerjaan bisa ditindak Kemenaker. Demikian pula apabila perusahaan tempat TKA bekerja melanggar undang-undang.
Catatan Ditjen Imigrasi, sampai akhri Februari tahun ini sedikitnya 1,3 juta WNA masuk Indonesia. Yang memiliki izin tinggal terbatas (itas), yakni dokumen untuk bekerja, hanya 13.881 WNA. Artinya, jika jumlah pekerja asing di Indonesia melebihi angka pemegang itas, mereka adalah TKA ilegal.
Secepatnya Ditjen Imigrasi akan menindaklanjuti temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Termasuk ratusan TKA di Morowali, Sulawesi Tengah, yang menjadi sopir. Sebagaimana Perpres No 20 Tahun 2018, pekerjaan kasar seperti sopir tidak boleh diisi pekerja asing.
Untuk melaksanakannya, Ditjen Imigrasi akan memperkuat tiga fungsi. Yaitu, fungsi koordinasi, sharing informasi dan data, serta operasi bersama.
”Pada fungsi koordinasi, koordinasi dilakukan dari pusat ke daerah, daerah ke daerah, dan seterusnya,” terang dia. Dengan demikian, bukan hanya Tim Pora di tingkat pusat yang semakin kuat. Tim serupa di daerah pun semakin andal.
Untuk fungsi sharing informasi dan data, penguatan dilakukan dengan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk. ”Tidak lagi informasi harus A-1,” ucap dia. ”Jadi, walaupun baru isu, akan menjadi bahan oleh tim untuk ditindaklanjuti,” tambahnya.
Istana Ingin Ada Tim Bersama Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (pur) Moeldoko sependapat untuk adanya tim bersama dalam mengawasi TKA. Dia menilai selama ini aparat sudah bekerja, tapi harus diperkuat untuk hasil yang lebih maksimal.
”Kalau ada (TKA ilegal, Red), ya wajar. Tapi, menjadi tidak wajar kalau kita tidak bertindak,” katanya di Kantor Staf Presiden (KSP) kemarin.
Mantan panglima TNI itu meminta Kemenaker, Ditjen Imigrasi, dan Polri untuk bekerja sama menindak tegas TKA ilegal. ”Di luar, kita juga diperlakukan tegas kok. Kita nggak boleh ragu-ragu kalau soal ketegasan itu,” imbuhnya.
Menurut Moeldoko, memperkuat aparat dalam pengawasan TKA lebih penting bila dibandingkan dengan membuat pansus. ”Ayo kita tangani sama-sama. Jadi, jangan nanti ini ngomong ini, ini ngomong ini, menjadi justru tidak produktif. Kita perlu pikirkan bersama, bagaimana sih ini agar tertangani,” paparnya.