Peluang Reunifikasi Dua Korea
TANGGAL 27 April 2018 akan tercatat sebagai salah satu tanggal bersejarah dalam hubungan internasional. Tanggal tersebut menandai pertemuan bersejarah antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Chairman Korea Utara Kim Jong-un dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Inter-Korea Ke-3. Pertemuan Inter-Korea Pertama pada 2000 silam terjadi antara Kim Dae-jung yang menginisiatori Sunshine Policy inter-Korea dan Kim Jong-il, chairman Korea Utara pada masa itu. Tujuh tahun kemudian, pertemuan kedua terjadi antara Kim Jong-il dan Roh Moo-hyun.
Pertemuan tahun ini bersejarah karena tiga alasan. Pertama, Pertemuan Tingkat Tinggi Inter-Korea yang pertama sejak 11 tahun berlalu.
Kedua, inisiatif pertama bagi Kim Jong-un untuk mengambil jalur diplomasi selama masa pemerintahannya. Sebelumnya, dia menolak mentah-mentah tawaran untuk negosiasi atau pembicaraan dengan negara lain, terutama terkait dengan masalah nuklirnya. Namun, sejak Olimpiade Pyongchang, dia menyambut uluran tangan Moon Jae-in untuk bertemu dan bahkan berinisiatif mengunjungi sekutunya, Xi Jinping, di Beijing.
Ketiga, Pertemuan Inter-Korea pertama yang dilaksanakan di Korea Selatan dan menandai kali pertama pemimpin tertinggi Korea Utara menginjakkan kaki di Korea Selatan sejak Perang Korea ’’diakhiri’.’ Bahkan, dalam pertemuan kali ini, pemimpin kedua negara bergantian melewati garis perbatasan kedua negara. Memberikan sinyal bahwa kedua negara siap memulai pembicaraan.
Pertemuan kali ini menimbulkan pertanyaan mengenai reunifikasi Korea. Mungkinkah terwujud?
Reunifikasi Terwujud? Semenanjung Korea terpecah menjadi dua sejak Perang Korea (1950–1953) dan hubungan keduanya mengalami fluktuasi selama enam dekade. Bahkan, kedua Korea tidak saling bertegur sapa hingga InterKorean Summit Pertama dilaksanakan pada 2000 sebagai salah satu perwujudan Sunshine Policy mantan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung yang ingin merekatkan kembali hubungan kedua Korea.
Sejak saat itu, reunifikasi selalu menjadi salah satu kebijakan penting dalam pemerintahan setiap presiden Korea Selatan. Di area demilitarized zone (DMZ), bendera reunifikasi, harapan-harapan publik mengenai reunifikasi, dan sarana-sarana menuju reunifikasi (seperti pembangunan Stasiun Dorasan yang memiliki rute kereta api menuju Pyongyang) terpampang begitu nyata. Harapan tersebut kembali terulang pada Inter- Korean Summit Kedua yang menekankan kerja sama ekonomi (menuju reunifikasi) dan denuklirisasi kedua negara pada 2007.
Pada Inter-Korean Summit kali ini, isu reunifikasi dan denuklirisasi kembali menjadi hal yang paling disoroti. Dalam deklarasi resmi yang dikeluarkan kedua pihak (dan diterjemahkan secara resmi oleh CNN), dinyatakan bahwa ’’Korea Utara dan Korea Selatan akan menghubungkan kembali hubungan sedarah rakyat kami dan membawa masa depan dalam kemakmuran bersama,’’ mendeklarasikan bahwa mereka sepakat untuk mengakhiri permusuhan di antara mereka dan menekankan kedua pihak memiliki tujuan untuk mencapai permanent peace (perdamaian secara permanen) melalui complete denuclearization (denuklirisasi sepenuhnya).
Berdasar preseden-preseden historis tersebut, pertemuan kali ini berpotensi untuk sekadar menghasilkan deklarasi yang bersifat retoris. Apalagi dalam pidato singkatnya, Kim Jong-un sama sekali tidak menyinggung masalah denuklirisasi. Meski dia berkali-kali menekankan ingin menjalin hubungan baik dengan ’’saudaranya’’ di Selatan dan membangun perdamaian secara permanen.
Selain itu, secara nyata, langkah pertama perdamaian yang harus dilakukan adalah menandatangani sebuah traktat perdamaian (peace treaty) untuk mengakhiri Perang Korea secara formal. Selama ini, kedua negara hanya menandatangani perjanjian gencatan senjata (armistice agreement) yang berarti secara teknis Perang Korea belum berakhir. Setelah itu, barulah kedua negara bisa mulai membicarakan rencana dan teknis reunifikasi secara konkret.
Meski demikian, reunifikasi Korea tidaklah dapat terjadi dalam 10–20 tahun mendatang. Kedua negara telah terpisah selama lebih dari 60 tahun. Hal itu membuat mereka asing terhadap satu sama lain dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam aspek politik, mereka memiliki ideologi negara yang sangat berbeda satu sama lain. Sistem ’’one country two systems’’ layaknya Tiongkok dan Hongkong sering dimunculkan sebagai wacana bentuk negara pascareunifikasi. Kemudian, kedua Korea memiliki ketimpangan eko- nomi. Korea Selatan saat ini menjadi salah satu negara OECD, sedangkan Korea Utara masih tergolong negara least developed.
Hal itu juga diakui Kim Jong-un. Dia menyebut –saat Presiden Mun menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Gunung Paektu di Korea Utara– sistem transportasi Korea Utara mungkin akan membuat Presiden Mun merasa tidak nyaman.
Selain itu, dari aspek sosial-budaya, masyarakat Korea Utara dan Selatan sudah terasing satu sama lain hingga para pembelot (defectors) dari Korea Utara pun mengakui bahwa mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk beradaptasi untuk hidup di Korea Selatan. Selain itu, di kalangan publik Korea Selatan, stigma negatif terhadap ’’saudara’’ mereka dari Utara tertanam kuat. Karena itu, masyarakat kedua pihak akan sulit hidup berdampingan pascareunifikasi.
Hasil konkret Inter-Korea Summit kali ini haruslah diikuti beberapa langkah nyata dari kedua pihak untuk berdamai secara penuh dan dilanjutkan dengan proses awal reunifikasi. Jika tidak, betapapun tinggi nilai historisnya, pertemuan kali ini akan menjadi suatu retorika semata seperti dua pertemuan inter-Korea sebelumnya. *) Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga