Tidak Copot Ibu karena Pertimbangan Kemanusiaan
VIDEO Rendra membuat nama Nunuk Lelarosanawati, ibunya, ikut tersangkut-sangkut. Bukan hanya itu, publik juga akhirnya tahu, Nunuk setahun terakhir tidak lagi aktif ngantor sebagai wakil rakyat. Meski demikian, statusnya masih tercatat sebagai anggota DPRD Sidoarjo.
Nunuk tidak lagi ngantor lantaran mengalami gangguan kesehatan. Legislator Partai Demokrat itu sedang sakit stroke. Kendati kondisi kesehatannya drop, sejatinya Nunuk sempat mengikuti beberapa kali agenda kegiatan dewan. Termasuk kunjungan kerja (kunker) ke luar kota. Hanya, tentu Nunuk tidak bisa banyak berbuat.
Dalam kondisi demikian, kenapa tidak dilakukan pergantian antarwaktu (PAW)? Ketua DPC Partai Demokrat Sidoarjo Juanasari menegaskan, partainya sempat mempertimbangkan hal tersebut.
Pembicaraan di internal partai dilakukan. Pengganti Nunuk disebut juga sudah diajak diskusi. Hasilnya, partai memutuskan tidak melakukan PAW. ”Alasan kami lebih pada faktor kemanusiaan,” ungkap Juanasari.
Anggota Komisi C DPRD Sidoarjo itu memaparkan, pihaknya ingin meringankan beban ekonomi Nunuk dengan tetap mempertahankan sebagai anggota dewan. Menurut Juanasari, kondisi Nunuk saat ini berada di titik terendah.
Bisnis Nunuk sudah bangkrut. Rumahnya di kawasan Puri Surajaya, Gedangan, sudah dijual. Nunuk juga hanya hidup berdua dengan Rendra, putra semata wayangnya. Sejak bisnis ibunya bangkrut, jiwa Rendra pun terus tertekan. ”Kalau kami PAW, kondisi beliau bisa semakin drop. Kami tidak ingin itu terjadi. Kami memutuskan mempertahankannya. Harapannya, gaji dari dewan yang meski tidak penuh bisa menjadi biaya berobat,” ungkap Juanasari dengan mata berkaca-kaca.
Karena itu, dia pun berharap publik bisa memahami kebijakan partainya. ”Kami kembalikan ke diri masing-masing saja. Seandainya hal yang menimpa beliau terjadi pada diri kita, apa ya tega memutuskan untuk melakukan PAW?” lanjut Sekretaris DPC Partai Demokrat Sidoarjo Enny Suryani.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU ITE. Yakni, pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.