Beredar Penggalan Rekaman Rini-Sofyan
PLN Minta Tambah Saham Proyek Penyediaan Energi Kementerian BUMN: Bukan Bagi-Bagi Fee
JAKARTA – Di tengah pergantian beberapa direksi perusahaan pelat merah, beredar penggalan rekaman percakapan antara Menteri BUMN Rini Soemarno dan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir
J
Penggalan percakapan tersebut ditengarai sebagai diskusi terkait dengan pembagian fee antara proyek Pertamina dan PLN.
Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro menegaskan bahwa percakapan itu tidak membahas bagi-bagi fee. ”Penggalan percakapan itu sengaja diedit sedemikian rupa dengan tujuan memberikan informasi yang salah dan menyesatkan,” ujarnya kemarin (28/4).
Imam menjelaskan, percakapan Rini dengan Sofyan adalah diskusi mengenai rencana investasi proyek penyediaan energi yang melibatkan PLN dan Pertamina pada 2016. Dalam diskusi tersebut, keduanya memiliki tujuan sama, yakni memastikan investasi itu memberikan manfaat maksimal bagi PLN dan negara. Bukan sebaliknya, untuk membebani PLN.
Kata Imam, percakapan utuh yang sebenarnya terjadi ialah membahas upaya direktur utama PLN memastikan syarat untuk ikut serta dalam proyek itu adalah PLN harus mendapatkan porsi saham yang signifikan. ”Sehingga PLN memiliki kontrol dalam menilai kelayakannya. Baik kelayakan terhadap PLN sebagai calon pengguna utama maupun sebagai pemilik proyek itu sendiri,” terangnya.
Imam menekankan, dalam perbincangan itu pun Rini secara tegas mengungkapkan bahwa hal yang utama adalah BUMN dapat berperan maksimal dalam setiap proyek yang dikerjakan. Dengan demikian, BUMN dapat mandiri dalam mengerjakan proyek dengan penguasaan teknologi dan keahlian yang mumpuni. Proyek penyediaan energi itu pun pada akhirnya tidak terealisasi karena memang belum diyakini dapat memberikan keuntungan optimal, baik untuk Pertamina maupun PLN.
”Kami tegaskan kembali bahwa pembicaraan utuh tersebut isinya sejalan dengan tugas menteri BUMN untuk memastikan bahwa seluruh BUMN dijalankan dengan dasar good corporate governance (GCG),” ungkap Imam.
Terkait penyebaran dan pengeditan rekaman pembicaraan tersebut, Imam menegaskan bahwa pemerintah akan menempuh jalur hukum untuk mengungkap sumber penyebar informasi itu. ”Kementerian BUMN akan mengambil upaya hukum untuk mengungkap pembuat serta penyebar informasi menyesatkan tersebut,” tandasnya.
Senada dengan Imam, Sofyan Basir mengakui, memang ada pembahasan dengan Rini. Hanya, rekaman percakapan itu disebarkan secara tidak utuh sehingga menimbulkan persepsi berbeda. Di samping itu, kasusnya tidak ada karena proyek belum dijalankan. Karena itu, dia akan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum.
”Tentu salah kalau rekaman itu diedarkan. Memang percakapan itu ada, antara saya dan Bu Rini, tapi tidak diunggah secara utuh dan dipotong-potong,” ucapnya saat ditemui Jawa Pos Radar Solo di Bandara Adi Soemarmo sesudah menghadiri rapat koordinasi direktur utama BUMN di De Tjolomadoe kemarin.
Sofyan mengatakan, pembahasan itu terkait dengan kepemilikan saham PLN untuk kerja sama proyek regasifikasi yang digagas Tokyo Gas, Mitsui, dan Bumi Sarana Migas. Rencananya, kontrak dilakukan dalam 20 tahun. Awalnya, dalam pembagian saham itu, PLN hanya diberi 7,5 persen. Namun, PLN meminta 15 persen. Karena ada dua BUMN yang dilibatkan, yakni dengan Pertamina, totalnya 30 persen. Kalaupun Pertamina enggan dengan kerja sama itu, PLN siap menerima 15 persen saham milik BUMN migas tersebut.
”Makanya, saya menghadap Bu Rini karena memang untuk kepentingan PLN. Untuk partisipasinya, PLN akan mendapatkan saham dan perwakilan direksi. Namun, proyek ini kan belum jalan,” jelasnya.
Saat ditanya penyebutan nama Ari yang disangkutkan dengan Ari Soemarno, kakak menteri BUMN, Sofyan menekankan bahwa dalam rekamannya Rini tegas mendahulukan kepentingan PLN. ”Semua harus profesional dan keuntungan terbesar harus di PLN,” tambahnya.
Sementara itu, pendiri Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama D. Persadha menjelaskan, untuk mengetahui bahwa rekaman pembicaraan tersebut sadapan atau tidak, ada tahapan yang harus dilalui. Dalam ilmu forensik audio, rekaman suara itu harus dibersihkan dari noise atau suara gangguan. ”Setelah bersih dari noise, akan dapat diketahui rekaman itu hasil penyadapan di dalam ruangan atau penyadapan telepon,” terangnya kemarin.
Namun, bila dipelajari sepintas, sangat mungkin rekaman pembicaraan tersebut merupakan hasil penyadapan telepon. ”Untuk pastinya harus menempuh kajian laboratorium forensik,” ujarnya.
Pratama menuturkan, seharusnya menteri dan pejabat lain memiliki alat komunikasi yang terenkripsi. Dengan demikian, komunikasinya bisa aman dari penyadapan. ”Namun, bukan berarti penggunaan enkripsi ini menghindari penegak hukum terkait kasus korupsi,” ucapnya. Penegak hukum tentu harus memiliki alat yang jauh lebih canggih. ”Penegak hukum tidak boleh hanya alat biasa,” tegas dia.
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto mengatakan, pejabat sebenarnya telah disediai aplikasi pengacak suara. ”Sehingga tidak bisa disadap,” ucapnya.
Namun, apakah pejabat itu menggunakannya atau tidak, tentu bergantung orangnya. Memang aplikasi tersebut membuat handphone lebih lambat bekerja dan membutuhkan waktu. ”Tinggal pilih, mau aman atau hanya mau nyaman,” kata Wawan.
Teknologi dan kewenangan untuk menyadap itu dimiliki penegak hukum seperti Polri, KPK, BIN, dan Kejagung. ”Namun, itu harus dengan perizinan yang jelas,” imbuhnya.