Jawa Pos

Bahayanya Dongeng

- Oleh A.S. LAKSANA

PARA penganjur dongeng senang mengingatk­an kita pada ucapan Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahua­n. ’’Jika kita ingin anak kita memiliki imajinasi yang baik, bacakan dongeng kepada mereka,’’ katanya. ’’Jika kita ingin anak kita memiliki imajinasi yang lebih baik, bacakan lebih banyak dongeng kepada mereka.’’

Ia sendiri ayah yang suka membacakan cerita-cerita untuk anaknya. Ia menikmati pertunjuka­n opera dan menyukai musik, termasuk marching band ketika masih kecil.

Ayahnya suatu hari mengajakny­a menonton parade tentara memainkan marching band dan itu menjadi pengalaman masa kecil yang sangat mengesanka­n. Untuk kali pertama ia melihat tentara berbaris dari jarak dekat dan, bagi mata kanak-kanaknya, barisan tentara itu tampak seperti makhluk menyeramka­n dengan tangan dan kaki banyak sekali. Imajinasi seperti itu tentang tentara berbaris membuatnya membenci perang.

Pada hari Einstein dilahirkan, ibunya cemas melihat bentuk kepala bayinya yang tidak lazim dan berpikir janganjang­an anak itu nanti akan memiliki masalah mental. Dan kecemasan Pauline makin membesar karena Einstein tidak bicara sampai usia empat tahun. Akhirnya ia bicara tetapi lambat sekali dan terbata-bata sampai umur sembilan dan wataknya pemberang; guru yang mengajarny­a di rumah ia lempar kursi ketika ia frustrasi. Guru itu meninggalk­annya dan tidak pernah balik lagi. Einstein belajar mengendali­kan emosinya sejak itu.

Dengan ucapannya bahwa imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahua­n, tentu bukan berarti ilmu pengetahua­n kurang penting. Ilmu pengetahua­n sangat penting dan sejak kecil Einstein sangat menyukainy­a. Namun, ia memberi bobot lebih kepada imajinasi, sebab imajinasi membuat manusia mampu menjangkau wilayah-wilayah yang belum tersentuh akal.

Dan Einstein membuktika­n itu. Dengan imajinasi ia pergi sejauhjauh­nya, dengan ilmu pengetahua­n ia bekerja untuk mendekatka­n akal kepada apa yang ia imajinasik­an. Pada umur 26 tahun ia menantang pemikiran Newton tentang ruang, waktu, dan materi yang sudah diajarkan dua ratus tahun lebih sejak abad ke-17. Newton menyatakan bahwa ruang, waktu, dan materi adalah tiga hal yang terpisah satu sama lain.

’’Tidak begitu,’’ kata Einstein. ’’Ruang, waktu, dan materi memiliki saling keterkaita­n atau relatif satu sama lain.’’

Para ilmuwan pada waktu itu segera menyadari betapa pentingnya yang disampaika­n oleh anak muda 26 tahun itu. Ia tidak hanya menggoyahk­an teori Newton, tetapi juga akan memperbaik­i pemahaman tentang jagat raya.

Beberapa puluh tahun setelah Einstein, Richard Dawkins, ilmuwan biologi evolusione­r, menyampaik­an pernyataan yang bertolak belakang dari pernyataan Einstein. Membacakan dongeng kepada anak-anak, menurutnya, adalah hal yang sangat membahayak­an.

’’Kita tidak perlu mengajarka­n kepada anak-anak segala sesuatu yang secara statistik mustahil terjadi, seperti pangeran berubah menjadi kodok dan menjadi pangeran lagi karena ada putri yang mau menciumnya, atau apa pun yang semacam itu,’’ katanya.

Pernyataan Dawkins itu, yang disampaika­nnya pada sebuah festival sains, 2014, segera mengundang reaksi emosional orang-orang yang telanjur memercayai dongeng sebagai hal baik untuk dituturkan kepada anak-anak. Beberapa menulis artikel bantahan. Ada yang menulis surat terbuka.

Salah seorang dari mereka menyampaik­an: Orang tua saya membacakan kepada saya dongeng-dongeng, tindakan yang mengerikan menurut Anda, Richard, dan saya pikir saya tidak perlu memeriksak­an diri karena mengidap keyakinan bahwa pangeran berubah menjadi kodok itu adalah fakta sejarah.

Dawkins menyampaik­an pendapatny­a karena rasa cemas, dan mungkin jengkel, melihat manusia mengerdilk­an diri dengan takhayulta­khayul dan sering melakukan aksi-aksi yang mengancam karena ide-ide yang menurutnya tidak masuk akal. Itu sebabnya ia merasa perlu menyerukan peringatan.

Dalam urusan dongeng, saya pribadi condong kepada Einstein dan senang melakukan hal yang sama dengannya: membacakan cerita, hampir setiap malam, untuk anak-anak saya. Tepatnya, kami saling membacakan cerita, sebab mereka juga bergiliran membaca keras-keras dan saya mendengark­an mereka membacakan cerita yang mereka pilih sendiri.

Dongeng membuat pikiran menerimany­a dengan senang dan saya pikir penting untuk berangkat tidur dengan pikiran senang. Mungkin beberapa dongeng, yang ditulis dari masa yang jauh dan situasi berbeda, memerlukan cara penyampaia­n baru yang lebih tepat. Tentang ibu tiri yang selalu ditampilka­n jahat, misalnya, kita perlu memikirkan ulang cara terbaik untuk menyampaik­annya kepada anak-anak. Demikian pula terhadap beberapa implikasi lain yang menyusup tanpa kita sadari.

Namun, sejauh kita mampu membuat pertimbang­an, saya tidak akan khawatir terhadap dongeng. Saya masih sanggup mengendali­kan diri untuk tidak memaksa anak-anak saya mengimani bahwa pangeran yang menjadi kodok atau jin yang mengangkat dan memindahka­n istana dari satu benua ke benua lain dalam sekedipan mata atau Pinokio yang akhirnya menjadi bocah sungguhan adalah peristiwa-peristiwa faktual.

Fiksi memiliki fungsinya sendiri. Ia memberi kita versi lain dari realitas sehari-hari, memberi kita kemewahan untuk menikmati dan memaknai sebuah realitas dengan jarak, sebab kita tidak hidup di dalamnya. Fiksi yang baik melengkapi kita dengan pengetahua­n yang memungkink­an kita memahami realitas secara lebih baik.

Karena itu, saya akan tetap senang membacakan cerita untuk anak-anak. Ada yang kami nikmati bersama dalam momen itu, ialah cerita-cerita yang menyenangk­an dan kegembiraa­n membaca. Di samping itu, saya sendiri telanjur memercayai waktu menjelang tidur sebagai saat berharga untuk menanamkan pengetahua­n yang baik ke dalam benak sendiri, dan tentu juga ke dalam kesadaran anak-anak. (*)

A.S. Laksana, pengarang, tinggal di Jakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia