Gerakan Buruh dan Paradoks Proteksionisme
SSAAT Eugène Pottier mencipta lirik L’Internasionale pada 1871, mungkin dia tak pernah menyangka bahwa pasar bebas bakal menimbulkan paradoks besar di dunia perburuhan. Apa lagi kalau bukan ketika pekerja di suatu negara harus memusuhi serbuan buruh dari negeri lain. Presiden Amerika Serikat Donald Trump berhasil menggunakan isu itu untuk membangkitkan ’’perlawanan’’ pekerja kulit putih berkerah biru yang merasa ekonominya terancam serbuan imigran atau buruh dari negeri lain.
Isu itu pula yang diangkat sejumlah aktivis buruh di negeri kita pada momen Hari Buruh kemarin. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya. Mereka menyebut tenaga kerja asing (TKA) yang menjadi buruh kasar di tanah air mencapai 157 ribu orang. Menurut mereka, sebagian buruh tersebut berasal dari Tiongkok.
Data itu tentu bertolak belakang dengan yang dikantongi pemerintah. Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, jumlah tenaga kerja asing hanya mencapai 85 ribu orang. Dari Tiongkok 34 ribu. Menurut KSPI, data pemerintah itu hanyalah pekerja terampil atau ahli.
Tentu saja pemerintah perlu mengklarifikasi kembali data tersebut. Sebab, apa pun dalihnya, apabila ada pekerja ilegal dari negara lain, tetap saja itu merupakan kelalaian pemerintah. Yang terpenting, jangan sampai hal tersebut terus-menerus menjadi komoditas politik yang tak berkesudahan.
Jelas sekali bahwa gerakan buruh tak boleh dibelokkan ke isu-isu yang semakin memarginalkan peran mereka. Isu-isu proteksionis semacam jargon-jargon antiasing kerap hanya menjadi bumbu kampanye politik menjelang pemilu belaka.
Masih banyak isu perburuhan lain yang lebih penting diangkat terus oleh para pekerja sendiri. Misalnya, nasib pekerja outsourcing serta jaminan sosial. Jangan sampai buruh terjebak pada isu elitis yang sesungguhnya hanyalah merupakan ajang pertarungan para kuasa pemilik modal. Sebuah ajang yang, siapa pun yang menang, belum tentu para buruh mendapatkan remahremah kejayaan. Perdjoangan penghabisan, kumpullah melawan. Begitu penggalan lirik Internasionale versi Indonesia yang ditulis Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, yang dipungkasi dengan penegasan bahwa perjuangan buruh merupakan sebuah aksi global: Dan
Internasionale pastilah di dunia... (*)