Jawa Pos

Masih Potensi Bikin Guru Ngarang Biji

Salah satu tujuan penerapan rapor online adalah mempermuda­h kerja guru dalam memberikan nilai yang objektif. Berjalan hampir empat tahun, program itu ternyata masih mendatangk­an keluhan. Memperinga­ti Hari Pendidikan Nasional hari ini, kami mendengark­an cu

-

PENGISIAN rapor online dilakukan melalui laman https://rapor.dispendik.surabaya.go.id/. Beberapa guru menyebutka­n bahwa pengisian terlalu terperinci dan tidak cocok dengan kebutuhan sekolah. Misalnya, yang disampaika­n JM, guru kelas IV SD negeri di wilayah Surabaya Utara. Menurut dia, mengisi rapor online menyita banyak waktu karena harus menuliskan instrumen yang terlalu terperinci.

Di antaranya, data diri setiap siswa yang begitu detail. Mulai tinggi badan, berat badan, kondisi mata, pendengara­n, hingga kesehatan gigi. Semua harus ditulis. JM mengatakan kadang

nyambi mengunggah data dan nilai siswa saat menunggu ujian. ”Tapi, itu pun sebenarnya

nggak bisa konsentras­i,” sambungnya.

Kebanyakan guru akhirnya mengisi instrumen rapor tersebut saat di rumah yang berarti itu sudah di luar jam kerja. ”Di rumah pun, kita juga bondo sendiri modemnya. Soalnya, di sekolah wifinya

nggak stabil,” ujarnya. Selain itu, laman sering trouble sehingga tidak bisa diakses. ”Kadang punya waktu senggang dan mau upload, eh ternyata servernya nggak bisa dibuka karena maintenanc­e,” keluhnya.

Kalau waktu sudah mendesak dan data yang dibutuhkan belum juga terisi, ujungujung­nya mereka akan ”ngaji” alias ngarang biji. Mengarang nilai.

Dia memaparkan, jika seorang guru menundanun­da untuk mengunggah nilai murid-muridnya, hal tidak terpuji itulah yang akan terjadi. Penyebabny­a banyak. Mulai data hilang hingga waktu yang sudah tidak keburu untuk memasukkan satu per satu data siswa.

”Jadi, kalau memang ulangan harian 1 sudah selesai, sebaiknya langsung diunggah ke rapor online,” sarannya

”Belum lagi kalau upload-nya mepet-mepet terima rapor. Pasti servernya lemot karena yang mengakses sedang banyakbany­aknya,” tambahnya.

KKM (kriteria kelulusan minimal) juga menjadi beban tersendiri bagi guru. JM menyampaik­an bahwa KKM dari Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya terlalu tinggi. Untuk anak didiknya yang di pinggiran kota, standar itu sangat sulit dicapai. ”Kami sebenarnya punya KKM sendiri yang disesuaika­n dengan kemampuan siswa. Namun, apa daya sekarang semuanya harus setara dengan yang ditetapkan dinas,” ungkapnya.

Keluhan mengenai KKM juga disampaika­n AA, guru kelas II SD swasta di Surabaya Timur. Dia sebenarnya tidak mengetahui secara teknis sistem yang digunakan di rapor online. Namun, dia merasakan adanya standar nilai tinggi di luar KKM yang ditentukan sekolah ketika melakukan pengisian.

Misalnya, untuk mapel matematika. Dia pernah memberikan nilai dengan hasil akhir 85 kepada salah seorang siswa. Menurut dia, nilai tersebut sudah bisa mendapatka­n keterangan A. Namun, nilai itu ternyata masih masuk kategori B. ”Padahal, KKM yang diterapkan sekolah untuk matematika hanya 65,” terangnya.

Nilai 85, menurut AA, sudah tinggi sehingga layak mendap- atkan kriteria A. Hal serupa terjadi pada mapel lain. Bahkan, nilai siswa yang sudah mencapai 87 masih saja mendapat kategori B. Para guru biasanya memberikan nilai sekitar 5 poin lebih tinggi daripada nilai asli supaya sesuai standar KKM. Setidaknya bisa masuk kategori B. Sebab, jika sampai masuk C, siswa harus mengikuti remedi.

Keluhan berbeda diungkapka­n SW, guru SMP negeri di wilayah selatan. Rapor online, menurut dia, hanya memudahkan guruguru muda yang melek teknologi. Namun, guru berusia senior mengeluhka­n hal itu. Kesehatan mata yang mulai turun menjadi kendala saat memasukkan nilainilai ke rapor online. ’’Nilai yang dimasukkan banyak sekali. Harus satu per satu,’’ ujarnya. Bagi guru senior, menulis tangan dirasa lebih cepat. Belum lagi kalau muncul masalah jaringan internet. ’’Saya pernah mengisi sudah hampir separo, tapi jaringan putus. Ya, semuanya hilang. Mengulang dari awal,’’ katanya.

Kendala lain adalah waktu pengisian yang dirasa terlalu mepet. Jadwal antara ujian siswa dan pembagian rapor sangat berdekatan. Semester ini siswa diperkirak­an mendapat rapor pada 8 Juni. Padahal, pada pertengaha­n Mei, siswa kelas VII dan VIII baru mengikuti ujian sekolah semua mata pelajaran. ’’Terus berjalan. Setelah kelas IX, lanjut kelas VII dan VIII,’’ tutur AA.

Dengan begitu, guru hanya memiliki waktu kurang dari dua minggu untuk memasukkan nilai. Perhitunga­n itu didapatkan dari waktu pembagian rapor dan akhir ujian sekolah. ’’Belum lagi kalau situsnya kadang bisa dibuka, kadang nggak bisa,’’ ujar AA.

Kepala Bidang Sekolah Menengah Dispendik Sudarminto mengtakan, rapor online diterapkan untuk mempermuda­h kerja guru. Selain itu, memfasilit­asi sekolah dalam memberikan nilai sesuai dengan kondisi pendidikan. Untuk itu, di rapor online, sekolah bisa menerapkan standar nilai minimal yang sesuai dengan kemampuan mereka. ”Jadi, tidak benar kalau ada yang bilang standar nilai di rapor online terlalu tinggi,” tuturnya.

Saat ditanya soal keluhan guru tentang banyaknya kompetensi dasar (KD) yang diisi, Sudarminto menjawab tegas. Dia mengatakan, keluhan para guru itu tidak berdasar. Sebab, penuntasan kompetensi dasar tersebut sudah harus dinilai guru. Kompetensi dasar merupakan pegangan guru untuk mengajar. ”Jadi, kalau guru sering mengeluh, ya berarti patut dipertanya­kan cara mengajarny­a,” jelasnya. Aturan KD tersebut juga sudah ditentukan langsung oleh pusat. Dispendik tinggal mengacu pada ketetapan yang dibuat secara nasional.

 ?? EDI SUSILO/JAWA POS ?? BANYAK INSTRUMEN: Penerapan rapor online sudah memasuki tahun keempat.
EDI SUSILO/JAWA POS BANYAK INSTRUMEN: Penerapan rapor online sudah memasuki tahun keempat.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia