Tersangka Ditangkap saat Cabuli Bocah
Sehari-hari Pelaku Asuh Korban
SURABAYA – Kasus pencabulan anak yang dilakukan kuli bangunan kembali terulang. Yang terbaru, pelakunya bernama Ahmad Topan. Dia mencabuli bocah berinisial AYA yang masih berusia 10 tahun. Tersangka melancarkan aksi bejat itu di rumahnya di kawasan Kendangsari, Tenggilis Mejoyo. Saat ditangkap, pelaku sedang mencabuli korban.
Penangkapan tersangka bermula dari laporan warga Kendangsari. Salah seorang tetangga korban mengamankan Topan saat sedang mencabuli AYA. Saat penggerebekan, korban menangis dalam pelukan pelaku.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polrestabes Surabaya AKP Ruth Yeni menyatakan, pelaku merupakan orang dekat korban. Mereka bertetangga. ’’Ini kasus yang mengerikan. Kuli lagi pelakunya,’’ ujarnya.
Ruth mencermati betul kasus pencabulan yang dilakukan kuli. Menurut dia, mereka hidup berpindah-pindah, bahkan dalam waktu yang relatif singkat. ’’Ngerjakan proyek ini, proyek itu, siapa tahu di setiap lokasi ada korbannya,’’ tuturnya.
Saat pemeriksaan awal terhadap tersangka dan korban, Ruth mendapati bahwa AYA sangat membenci Topan. Hal tersebut memudahkan penyidikan. Sebab, korban menjelaskan tindak asusila itu dengan detail.
Kepada polisi, AYA mengaku dicabuli sepuluh kali sejak Agustus 2017. Saat digerebek warga, pelaku ternyata sedang mencabuli korban. Bahkan, AYA diketahui menangis saat diperlakukan cabul.
Pencabulan tersebut dilakukan saat sore sebelum orang tua korban pulang kerja. Topan dan keluarga AYA cukup dekat. Bahkan, orang tua korban terbiasa menitipkan anaknya kepada Topan. Ayah korban bekerja sebagai karyawan mal. Sementara itu, ibu AYA merupakan buruh pabrik. ’’Minim pengawasan. Lha wong baru pulang kerja malam. Percaya banget sama pelaku,’’ kata Ruth.
AYA tidak pernah mengadukan hal yang dialaminya kepada orang tuanya. Sebab, dia diancam tidak akan diasuh lagi ketika orang tuanya sibuk bekerja. Dari hasil visum, polisi mendapati selaput darah korban sobek. Namun, tersangka mengaku tak pernah menyetubuhi korban. ’’Ternyata, dia memasukkan jarinya,’’ jelas polwan asal Banyuwangi itu.
Polisi dengan tiga balok di pundak tersebut menjelaskan, rasa benci yang dialami korban merupakan hasil kontrol emosi. AYA dianggap masih mampu mengontrol kemarahan sehingga hanya menghasilkan sikap benci.
Jika kontrol itu hilang, sangat mungkin masa depan AYA hancur. Sebab, para korban pencabulan berpotensi besar menjadi pelaku. Untuk kasus yang menimpa anak perempuan, ada alternatif pelampiasan pada hal lain. ’’Bisa merasa tak punya harga diri dan akhirnya gampangan dengan cowok lain,’’ jelasnya.
Menurut Ruth, anak seusia AYA bisa merekam kejadian dengan sempurna. Terekam dalam memori utama yang gampang diputar ulang. ’’Biasanya muncul dalam mimpi-mimpinya. Ini yang bikin emosinya bisa labil dan merusak masa depan,’’ ungkapnya.
Karena itu, Ruth memasrahkan proses perbaikan mental dan kejiwaan korban ke Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim. Orang tua dan korban harus mendapat konseling secara intensif dan berkala. ’’Biar bisa melupakan atau paling tidak mengikis memori mengerikan itu,’’ tuturnya.