Berani Berinvestasi untuk Pendidikan
PENDIDIKAN adalah investasi terpenting bagi masa depan. Sebuah pertaruhan. Mulai lingkup terkecil, yaitu keluarga, sampai organisasi terbesar bernama negara. Pendidikan yang baik akan jadi titik ungkit (leverage) dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.
Tak heran bila banyak orang tua berlombalomba mengarahkan anaknya ke sekolah yang dianggap terbaik atau menjanjikan. Berusaha sekuat tenaga. Sampai kadang kebablasan. Tidak mampu lagi membedakan antara ego dan ambisi pribadi dengan potensi dan ketertarikan alami sang buah hati.
Demikian halnya dengan negara. Sejak 10 Agustus 2002, melalui amandemen keempat konstitusi, tercatat dalam pasal 31 ayat 4 bahwa negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Negara juga diikat untuk menjamin dan membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga.
Seberapa jauh konsistensi pemerintah terhadap amanat UUD 1945 itu? Di level pusat, investasi yang dikucurkan dari APBN 2018 mencapai Rp 444,131 triliun. Persis 20 persen. Untuk APBD, kita bisa mengeceknya melalui website http://npd.data.kemdikbud.go.id.
Berdasar data terakhir (merujuk APBD 2016), ternyata hanya satu provinsi yang memenuhi alokasi anggaran 20 persen APBD untuk pendidikan. Yaitu, DKI Jakarta sebesar 22,3 persen. Provinsi yang lain di bawah 10 persen. Bahkan, 20 provinsi hanya 1–5 persen.
Infrastruktur pendidikan juga belum menggembirakan. Data Kemendikbud tahun pelajaran 2016–2017 menyebutkan, hanya 25,74 persen ruang kelas SD dan 28,73 persen ruang kelas SMP dalam kondisi baik. Sisanya rusak.
Bicara soal budaya literasi, kehadiran perpustakaan di SD sebagai salah satu penunjangnya juga belum merata. Dari total 132.022 unit SD, baru 81.714 sekolah yang memilikinya. Masih ada 50.308 SD di berbagai pelosok Indonesia yang tak punya perpustakaan.
Bila diteruskan, daftar masalah ini masih panjang. Misalnya, soal angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan tinggi yang baru 31,5 persen. Jauh di bawah rata-rata negara ASEAN yang 40 persen.
Dalam hal rasio murid-guru, mulai jenjang SD sampai SMA, memang sudah ideal. Tapi, ”sukses” itu sebenarnya ditebus oleh ratusan ribu guru honorer yang dibayar ala kadarnya.
Untuk menuntaskan semua masalah tersebut, tentu dibutuhkan investasi yang tidak kecil. Tapi, hasilnya pasti akan sepadan.