Rencana Tidur di Depan Istana Presiden Batal
Hukmia Airlanggiwati, PNS yang Menang Gugat Gubernur
Hukmia Airlanggiwati bersyukur. Hakim memenangkan gugatannya terhadap gubernur. Meski begitu, perjuangannya belum selesai. Pihak tergugat berencana banding. Ibu dua anak itu menyambutnya dengan sukacita.
LUGAS WICAKSONO
TIDAK ada yang berbeda dengan rutinitas Hukmia kemarin pagi (3/5). Seperti biasa, perempuan 57 tahun itu masuk kantor pukul 07.00. Di satu sudut ruangan lantai 2 kantor Bappeda Jatim, dia memulai aktivitasnya sebagai perencana madya bidang ekonomi. Sehari sebelumnya, majelis hakim pengadilan tata usaha negara (PTUN) memenangkan gugatannya terhadap Gubernur Jatim Soekarwo.
’’Saya hari ini juga sedang membuat surat ke gubernur. Intinya meminta pengembalian hak-hak saya seperti tunjangan jabatan dan lainnya. Saya masih menuntut karena kewajiban sudah saya jalankan,’’ ungkapnya.
Menggugat gubernur bukan hal mudah. Sebelum mengambil langkah tersebut, dia berpikir panjang. Berbagai kemungkinan telah dipikirkan. Termasuk risiko terberat sekalipun. ’’Saya dengar cerita, ada dua PNS di Kota Batu. Sama seperti saya, menang gugatan di PTUN, tapi kemudian diberhentikan secara tidak hormat oleh wali kotanya,’’ katanya.
Sebelum mengajukan gugatan terhadap objek sengketa SK gubernur 3 Oktober 2017 tentang mutasi dirinya dari pejabat fungsional menjadi pejabat struktural, dia berkonsultasi dengan panitera PTUN
J
’’Saya bilang mau menggugat, tapi tidak punya uang. Panitera kepala PTUN membimbing saya mengenai tata cara menggugat dan disarankan tidak pakai pengacara,’’ tuturnya.
Hukmia mengatakan sebenarnya tidak ingin menggugat pimpinannya ke pengadilan. Hanya, selama menjadi pejabat pemerintahan, dia sering menjumpai praktik yang bertentangan dengan nurani. Puncaknya terjadi pada 2003, ketika dia baru beberapa bulan dimutasi ke bappeda.
Satu hari menjelang Lebaran, dia menjumpai seorang staf membawa sekarung uang yang diambil dari bank belakang kantornya. Staf itu mengatakan bahwa karung goni tersebut berisi uang Rp 525 juta.
Uang itu akan diserahkan ke kepala bidang yang menjadi atasan Hukmia tanpa jelas peruntukannya. Kata staf itu, sebagian uang tersebut juga akan dibagikan ke anak buahnya. Hukmia termasuk di dalamnya. ’’Saya menghadap meski sempat dilarang ajudannya. Saya katakan, bukan sok suci. Tapi, saya tidak bisa menerima uang fiktif. Kalau saya lembur silakan dikasih, kalau tidak lembur jangan dikasih uang,’’ ujarnya.
Sejak saat itu, pimpinannya seakan marah kepadanya. Hukmia tidak pernah diberi tugas dan fasilitas apa pun. Dia ditempatkan di lantai 3 seorang diri selama lima tahun. Konflik terus berkepanjangan. Hukmia dikucilkan.
Kenaikan golongan dari IV-c ke IV-d yang sudah lama diajukannya tidak kunjung diproses. Padahal, dia mengklaim sudah memenuhi segala persyaratan. Puncaknya, gubernur mengeluarkan SK mutasi untuknya. Hukmia menolak. Akibatnya, sejak 2017 dia tidak mendapatkan berbagai fasilitas sebagai PNS yang memiliki jabatan.
Setiap bulan dia hanya mendapatkan gaji pokok yang tidak lebih dari Rp 4 juta. Bagi dia, gaji itu tidak cukup untuk membiayai aktivitasnya sebagai pejabat, termasuk ketika perjalanan dinas ke luar kota. Dia punmemutuskanberutangkebank untuk mencukupi kebutuhannya.
Bahkan, tidak ada seorang pun staf yang ditugasi membantu pekerjaannya. Akhirnya Hukmia mempekerjakan seorang staf yang digaji dari uang pribadinya. ’’Setiap bulan saya harus membayar angsuran bank Rp 4,5 juta. Lebih dari gaji pokok, untuk biaya hidup dan pengeluaran tak terduga,’’ katanya.
Dalam SK gubernur itu diputuskan bahwa Hukmia dimutasi dari bappeda menjadi kepala UPT di Dinas Perkebunan Jatim. Hukmia menolak karena memiliki prinsip bahwa tidak semestinya perempuan memimpin laki-laki.
’’Tapi, itu prinsip untuk diri saya. Kalau ada perempuan, misalnya mencalonkan diri sebagai gubernur, silakan. Kalau perempuan itu baik, akan saya pilih,’’ jelas perempuan yang menyebut belum punya rumah pribadi dan masih tinggal di perumdis suaminya di kawasan Pucang Jajar Timur itu.
Suaminya, Setiawan, yang bekerja sebagai dosen di Poltekkes Surabaya sempat memberikan sejumlah pertimbangan kepada Hukmia. Suaminya bilang selama atasannya tidak mengajarkan perbuatan syirik atau musyrik, sebaiknya Hukmia mengikuti saja. Dua buah hatinya memberikan saran yang sama. Namun, tekad Hukmia sudah bulat. Persidangan selama kurang lebih lima bulan itu diikutinya tanpa mengeluh. Belakangan, keluarga akhirnya mendukung Hukmia.
Setelah menang gugatan, dia menunggu upaya pihak gubernur selaku tergugat. Perjuangannya memang belum selesai. Pihak tergugat berencana mengajukan banding. Hukmia malah senang. ’’Karena kalau banding kan akan melalui peradilan yang lebih tinggi. Artinya, kasus ini akan lebih didengar secara nasional,’’ katanya.
Sebenarnya Hukmia sudah mempersiapkan diri kalau pada Rabu (2/5) itu kalah. Rencananya, Hukmia berniat tidur di depan Istana Presiden. Alasannya sederhana, dia sudah tidak tahu lagi ke mana harus mencari keadilan. ”Tapi, ternyata keadilan masih ada,” ujarnya.