Meramu Riset & Imajinasi
Mengawali karir sebagai musisi, Dewi Lestari kini punya media lain untuk berkarya. Yakni, tulisan. Lewat cerita pendek maupun novel, Dee –sapaannya– mengajak pembacanya menjadi peracik kopi, peramu wewangian, hingga petualang backpacker.
PADA novel terbarunya, Aroma Karsa, Dee ’’menyiapkan’’ dunia olfaktori penuh aroma. Mulai aroma bunga hingga sampah. Perempuan kelahiran 20 Januari 1976 tersebut menyatakan bahwa ide itu berawal dari ketertarikannya semasa kecil. ’’Dunia aroma adalah keasyikan, wahana yang enak untuk ’main.’ Sebab, menghadirkan aroma adalah permainan persepsi dan imajinasi,’’ ungkapnya saat ditemui Jawa Pos di Gedung Graha Pena Surabaya Jumat (20/4).
Untuk menghadirkan beragam aroma tersebut, Dee melalui jalan panjang. Selain mengambil kursus meracik parfum, dia harus mendedahkan dunia mesin. ’’Bagian menggambarkan mobil balap adalah yang paling susah. Soalnya, referensinya enggak ada,’’ ujarnya. Terlebih, zat yang dia gambarkan tidak punya aroma spesifik bagi penciuman normal.
Kakak vokalis Mocca Arina Ephipania itu mengungkapkan, untuk memahami detail tersebut, dirinya belajar langsung kepada pembalap Ananda Mikola. ’’Saya udah bikin adegan berdasar khayalan saja. Untuk detailnya, saya riset dari bahan oli,
coolant. Apa saja yang dipakai,’’ kenangnya. Dari dunia balap, Dee ’’meloncat’’ ke dunia flora. Terutama anggrek. Puspa Karsa dalam ceritanya terinspirasi salah satu kerabat tumbuhan epifit tersebut. ’’Banyak perburuan anggrek. Ada orang-orang yang rela miskin, bahkan cerai hanya demi bisa memiliki anggrek. Saya rasa, enggak ada bunga lain yang menghipnotis sebagaimana anggrek,’’ tuturnya.
Novel yang direncanakan sejak dua tahun lalu itu mengangkat sisi mistis Gunung Lawu. Gunung di perbatasan Jawa Timur–Jawa Tengah tersebut merupakan salah satu gunung yang populer,
tetapi memiliki sisi misterius yang kuat. Lokasi itu dipilih menjadi tempat Puspa Karsa tersimpan. ’’Juru kuncinya pun bilang, ada desa dan kerajaan yang tidak terlihat di sana,’’ paparnya.
Riset tersebut diramu dengan imajinasi Dee. Terutama yang terkait dengan penggambaran Banaspati dan penduduk Alas Kalingga, hutan tempat Puspa Karsa. ’’Walau digambarkan bukan manusia, Banaspati tetap masuk logika cerita. Jadi, apa yang dianggap tidak masuk akal dari segi cerita bisa diterima dan terasa logis,’’ jelas Dee.
Ibu Keenan Avalokita Kirana dan Atisha Prajna Tiara itu menjelaskan, Aroma Karsa punya ciri budaya Indonesia yang kental, tetapi tetap modern. ’’Tentu saja, karena saya tinggal di Indonesia, pengamatan saya banyak datang dari sekeliling saya. Munculnya budaya tradisional sematamata karena kebutuhan cerita, bukan karena misi khusus,’’ tegasnya.
Aroma Karsa cukup berbeda dengan karyanya yang lain. Meski begitu, tidak ada playlist khusus untuk mendukung penulisan. ’’Saya jarang banget
dengerin musik karena enggak terlalu butuh. Kecuali untuk adegan romantis. Itu pun tidak ada lagu yang spesifik,’’ katanya.
Musisi yang dulu tergabung di trio vokal Rida Sita Dewi tersebut tidak lantas mengisyaratkan benar-benar meninggalkan dunia musik. ’’Karena saya lebih produktif menulis, orang mengenal dan mengasosiasikan saya lebih kuat ke menulis. Tapi, saya masih merilis album hingga 2009 dan sesekali menulis lagu bagi penyanyi lain atau
soundtrack film,’’ paparnya. Keduanya, lanjut dia, berjalan paralel, beriringan. Hanya, di dunia kepenulisan, dia lebih rutin memproduksi buku baru.