Mengapa Pendidik Harus Pancasilais?
TULISAN Pak Daniel M. Rosyid berjudul Meme Pembubaran HTI
(9/5) sangat menggelitik. Pertama, kerangka argumentasinya cenderung apologetik. Kepentingannya untuk bertahan dengan posisi yang diambil atas pembubaran HTI. Tentu, di baliknya adalah kepentingan menjustifikasi keyakinan yang dimiliki. Kepentingan lanjutnya, menjelaskan apa yang dialami dari institusi tempat kerjanya kepada publik melalui kolom opini.
Kedua, substansi argumentasinya cenderung menyisakan masalah bagi kepentingan penguatan nilai kewargaan (civic values) dan nilai pendidikan kepada generasi bangsa ini. Padahal, dua nilai itu sangat berkelindan. Nilai kewargaan mengalami pelembagaan melalui instrumentasi pendidikan, sedangkan praktik pendidikan harus berjalan seiring dengan nilai kewargaan.
Pada titik inilah, saya teringat tulisan Stephan Millet sepuluh tahun lalu. Judulnya The State, the Soul, Virtue and Potential: Aristotle on Education
di buku editan Charlene Tan dan Benjamin Wong, Philosophical Reflections for Educators (2008). Di situ (hal 23), dia menyatakan, ’’The end (telos) of education is to produce good citizens, where ’good’ here is partly determined in light of the constitution of the state.’’
Terjemahannya: Tujuan akhir pendidikan adalah menciptakan warga negara yang baik, di mana kata ’’baik’’ di sini di antaranya dimaknai sesuai dengan konstitusi negara yang dianut.
Makna dasar tujuan pendidikan seperti itu berlaku untuk semua negara. Kalau konstitusi sebuah negara berbasis teokrasi dengan mazhab keyakinan berkategori A, pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya harus merujuk kepada mazhab yang dimaksud. Implikasinya, seluruh pendidikan di negara yang dimaksud harus merujuk pada ideologi yang dijadikan basis konstitusinya.
Di sinilah seluruh negara di dunia ini memiliki kepentingan politik yang sama terhadap seluruh pendidikan yang dijalankan. Yakni, menjadikan pendidikan sebagai instrumen untuk mencetak warga negara yang baik sesuai dengan nilai dasar konstitusi yang dianut.
Pertanyaannya, di manakah posisi pendidik dan peserta didik dalam penciptaan warga negara yang baik sesuai dengan nilai dasar konstitusi? Saya melihat, mindset kita selama ini cenderung abai terhadap posisi pendidik. Seakan-akan problem mencetak warga yang baik lebih disebabkan faktor peserta didik. Siswa menjadi sentrum pembahasan.
Padahal, posisi pendidik sangat berpengaruh pada kualitas pemahaman dan kesadaran berpikir serta bertindak peserta didik. Ada dua alasan mendasar. Pertama, dalam dunia pendidikan, pendidik harus memiliki standar dan kapasitas nilai yang lebih besar daripada peserta didik.
Saya teringat sebuah maksim Arab yang berlaku dalam dunia pendidikan. Bunyinya: Faqidusy sya’i la yu’thi. Arti harfiahnya: Orang yang dalam dirinya tidak terdapat sesuatu, tidak akan berkemampuan untuk memberi. Bahasa sederhananya: Orang yang belum selesai dengan dirinya tidak akan mampu menyelesaikan masalah orang lain. Orang yang belum selesai dengan dirinya tidak akan mampu membangun kapasitas individual orang lain.
Prinsip itu berlaku untuk seluruh aspek kehidupan sosial, termasuk dalam hal pengembangan nilai kebangsaan. Guru atau dosen tidak akan mampu menanamkan nasionalisme yang baik kepada murid dan mahasiswa jika dalam dirinya masih ada problem nilai kebangsaan. Bagaimana mungkin kita berharap banyak atas terciptanya masa depan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila jika para pendidik bangsa abai, atau bahkan melawan, terhadap nilai-nilai Pancasila itu?
Karena itu, pendidik tidak boleh hanya surplus nilai akademik, tetapi minus nilai kebangsaan. Pendidik tidak boleh surplus keilmuan, tetapi miskin nilai kewargaan di bawah panji Pancasila. Sebab, jika semua itu terjadi, kita akan mencetak generasi yang melek keilmuan, tetapi buta huruf kebangsaan.
Atas dasar itu, membangun karakter kebangsaan warga bangsa ini harus diawali dengan pembenahan karakter para pendidik.
Kedua, pendidik di era revolusi industri 4.0 yang ditandai inovasi teknologi informasi-komunikasi supercepat nan disruptif tidak bisa bertahan dengan pola yang sama dengan era sebelumnya. Sebab, pada era ini, peran pendidik sebagai sumber informasi dan sumber teladan mendapat tantangan yang luar biasa besar.
Sebagai sumber informasi, posisi pendidik sudah cenderung tergantikan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi, tingkat literasi IT anak-anak muda bangsa ini lebih tinggi daripada pendidik dari generasi yang lebih tua. Konsekuensinya, pendidik tidak bisa memosisikan diri sebagai sumber informasi yang superdominan bagi peserta didik karena di luar dirinya sumber informasi itu sangat beragam dan cenderung lebih luas, canggih, komprehensif, serta mendalam.
Karena itu, pendidik tidak boleh kehilangan peran sebagai sumber teladan. Di sini tulisan Pak Daniel M. Rosyid cenderung menyisakan masalah dari sisi kepentingan penanaman karakter kewargaan dan nilai kebangsaan. Pendidikan tinggi, secara khusus, akan sangat lacur jika direduksi hanya menjadi a marketplace of ideas. Pasalnya, sumber informasi sudah tidak didominasi pendidik atau dosen.
Karena itu, pendidik di pendidikan tinggi juga harus menjadi a source of manners, termasuk teladan kewargaan dan kebangsaan. Dengan demikian, nilai kewargaan dan kebangsaan bisa diwujudkan melalui pemberian teladan. Pemberian teladan itu merupakan bagian sentral dari proses habituasi dan pelembagaan nilai serta karakter kebangsaan. Pendidik yang anti, menolak, atau melawan Pancasila menjadi mimpi buruk bagi pengembangan nilai kewargaan dan kebangsaan warga bangsa. *) Guru besar, dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya; ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur