Kami Sudah Biasa Melawan Israel
Dua Hari Jelang Peringatan Bencana Kemanusiaan di Palestina
Sejak 30 Maret, pengungsi Palestina menggelar aksi Great March of Return. Aksi itu akan mencapai puncak pada peringatan Hari Nakba 15 Mei nanti. Misi mereka cuma satu. Pulang ke tanah kelahiran.
MATA Ruqayeh Al Araj berkacakaca. Pandangannya menyapu lembah nun jauh di hadapannya. ”Di sana, dulu rumah kami berdiri,” ujar perempuan 75 tahun itu. Dulu dia adalah anak petani kaya yang tinggal di Walaja, selatan Jerusalem. Namun, saat perang ArabIsrael meletus pada 1948, keluarganya dan sekitar 1.600 penduduk Walaja melarikan diri.
Sebagian pengungsi tinggal di kamp pengungsian Jerusalem dan Betlehem. Sisanya pindah ke Jordania dan Lebanon. Keluarga Ruqayeh dan sekitar 100 orang lain menyeberangi lembah yang memisahkan Israel dengan Tepi Barat. Di sana, mereka sempat tinggal di gua-gua sebelum akhirnya mendirikan rumah.
Mereka tak pernah bisa kembali ke rumah yang lama. Setelah menang perang, Israel menduduki ratusan desa dan menamainya ulang. Termasuk, Walaja.
Ruqayeh tidak hanya tak bisa kembali ke rumahnya. Dia bahkan kesulitan untuk sekadar bercocok tanam. Israel terus mencaplok wilayah Tepi Barat, termasuk kebunnya. Kini, untuk pergi ke ladang, dia harus mendapatkan izin dari Israel.
”Jika saya tak bisa kembali, saya berharap putra dan putri saya bisa,” ujarnya seperti dilansir Irish Times.
Total, ada 750 ribu penduduk Palestina yang terusir dari rumah masing-masing setelah perang Arab-Israel pecah. Mereka menjadi pengungsi abadi. Pengusiran mereka dari tanah kelahiran diperingati sebagai Hari Nakba atau Hari Malapetaka. Yakni, 15 Mei. Sehari setelah
warga Yahudi mendirikan negara Israel pada 14 Mei.
Hari Nakba itu pula yang akan menjadi ”gong” aksi Great March of Return yang sudah berlangsung selama enam pekan. Ancaman peluru tajam penembak jitu dan gas air mata militer Israel (IDF) tak membuat massa gentar. Tewasnya 48 demonstran dalam enam pekan terakhir justru membakar semangat perlawanan yang lebih besar.
”Kami tidak takut. Kami biasa me- lawan pendudukan Israel. Kami sudah biasa dengan perang,” tegas Ahmed Deifallah, demonstran.
Aksi diperkirakan membesar. Apalagi, Amerika Serikat (AS) sudah mengagendakan pembukaan kedutaan besarnya di Jerusalem besok (14/5). Tepat dengan perayaan 70 tahun terbentuknya Israel.
Di sisi lain, dunia internasional tidak pernah mengakui pendudukan Israel di wilayah Jerusalem. Wilayah tersebut seharusnya dibagi dua, sisi barat untuk Israel dan sisi timur, termasuk kota tua Jerusalem, milik Palestina. Israel kini mencaplok seluruhnya.
Pemimpin Hamas Yehiyeh Sinwar berharap puluhan ribu orang berpartisipasi dalam aksi yang berlangsung Senin. Dia memperkirakan massa bisa merusak pagar pembatas perbatasan. Dia mengumpamakan demonstran sebagai singa lapar yang penuh kemarahan dan tidak bisa diprediksi.
”Apa salahnya jika ratusan ribu orang menyerbu pagar pembatas yang bukan batas negara tersebut?” tegas Sinwar seperti dikutip The Guardian. Beberapa wilayah yang dicaplok Israel memang tak diakui dunia internasional. Sinwar menyebut aksi itu nanti sebagai The Mother of All March alias Ibu Segala Aksi.
Sumber majalah The Atlantic di internal Israel menyatakan, beberapa pejabat kini khawatir jumlah demonstran mencapai 100 ribu orang, bahkan lebih. Tidak ada respons militer yang efektif untuk menghalau massa sebanyak itu.
Sejujurnya saya cemas terhadap apa yang bakal terjadi hari ini dan beberapa hari ke depan dengan pindahnya Kedutaan Besar AS ke Jerusalem dan rencana protes di Gaza.”
NICKOLAY MLADENOV Koordinator Khusus PBB untuk Perdamaian Timur Tengah