Jawa Pos

Sampai Benar-Benar Jadi Kaisar

Honghayo tahu cara meruntuhka­n kekaisaran Kaisar Q. Tidak dengan membunuh sang kaisar. Tidak dengan mengalahka­n Xiong-er.

- Cerpen TRIYANTO TRIWIKROMO Semarang, 2018, 8.00

PERTANDING­AN sepasang gladiator bengis itu belum berhenti. Mereka masih saling berusaha membunuh ketika Panglima Mantuhatto menyatakan kepada Honghayo, badut kesayangan, ’’Kian lama Kaisar Q kian bodoh. Tak becus mengurus kekaisaran. Tak bisa melawan penyerobot tanah. Tak bisa menghalau agama yang menganjurk­an pemujaan kepada 100 tuhan. Sebaliknya, Kaisar kian pandai menimbun utang.” ’’Mengapa tak Tuan bunuh saja Kaisar Q?” ’’Kau kira mudah membunuh Kaisar?’’ Honghayo tidak menjawab pertanyaan itu. Honghayo malah membayangk­an dirinya sebagai algojo terkuat. Jika dipercaya membunuh Kaisar, Honghayo akan meminta Panglima mengulang perintah pembunuhan hingga sembilan kali. Setelah tahu harus membunuh Kaisar dengan racun, Honghayo akan mengendara­i kuda menyibak kerumunan orang di jalanan yang menghubung­kan markas Mantuhatto dengan istana.

’’Kau kira mudah membunuh Kaisar?” tanya Mantuhatto lagi sambil menatap salah satu gladiator menghajar kepala musuh dengan palu.

’’Tak ada yang sulit bagi Tuan Panglima bukan?” jawab Honghayo.

’’Tetapi aku tidak mungkin membunuh dengan tanganku sendiri,” ujar Mantuhatto yang tidak terpekik sama sekali ketika melihat kepala salah satu gladiator berlumur darah karena tak bisa menghindar dari benturan palu.

’’Tuan Panglima meminta hamba membunuh Kaisar?’’

Mantuhatto tidak menjawab pertanyaan Honghayo. Mantuhatto yakin tak sembarang orang bisa berhadapan dengan Kaisar. Istana Kaisar dilindungi oleh sembilan benteng. Benteng pertama dijaga oleh Ge, pasukan harimau berkepala banteng. Benteng kedua dijaga oleh Ha, pasukan kuda berkepala elang. Benteng ketiga dijaga oleh Jo, pasukan anjing berkepala kobra. Benteng keempat hingga kesembilan dijaga pasukan babi berkepala serigala. Selain itu di belakang pintu gerbang utama hingga kesembilan berjaga pula 1.000 serdadu bersenjata tombak beracun.

Mungkin bisa saja seseorang masuk hingga ke beranda istana. Mungkin bisa saja seseorang masuk ke ruang tamu. Mungkin bisa berhadapan hingga sepuluh depa. Mungkin lima depa. Akan tetapi tetap saja tak mudah membunuh Kaisar.

’’Ada penghalang besar yang selalu menyelamat­kan Kaisar. Mereka adalah rakyatraky­at bodoh yang mau menjadi benteng.’’

’’Tidakkah Tuan Panglima selalu punya cara untuk membunuh siapa pun?”

Panglima mengangguk. ’’Rakyatlah yang bisa membunuh Kaisar. Rakyat yang tergusur. Rakyat yang ditindas. Rakyat yang membenci Kaisar. Sekarang pergilah ke Pasar Tangqiujin­g. Bikinlah semacam tontonan. Ceritakan: telah tiba masa akhir kekuasaan Kekaisaran Q. Kau tahu cara mendongeng yang tak membuat lehermu dipenggal serdadu Kaisar bukan?’’

Honghayo manggut-manggut. Setelah memberi hormat, Honghayo meninggalk­an Panglima yang masih menonton pertanding­an sepasang gladiator bengis. Honghayo tak tahu begitu keluar dari pintu gerbang, kepala salah satu gladiator telah pecah. Darah muncrat dari kepala gladiator yang dihantam palu bertubi-tubi itu.

***

HONGHAYO tak langsung merias diri menjadi badut. Begitu sampai di Pasar Tangqiujin­g, Honghayo lebih memilih mampir ke kedai yang menjual makanan-makanan kesukaan para bangsawan. Sambil mendengark­an apa pun yang dikatakan pengunjung kedai, Honghayo dengan lahap menyantap 13 tusuk kalajengki­ng, 13 kecoa kering, dan sate kuda laut.

Sambil terus menyantap kecoa kering, Honghayo mendengark­an percakapan dari meja terdekat. ’’Kaisar Q tak bisa mati.’’

’’Kau percaya pada takhayul semacam itu?’’ ’’Itu bukan takhayul. Itu kenyataan. Kaisar Q

dilindungi oleh Xiong-er.’’

’’Kau juga percaya pada makhluk takhayul itu?’’ ’’Itu bukan makhluk takhayul.’’

’’Kau pernah melihat Xiong-er?’’

’’Aku pernah membaca kisah Xiong-er di Kitab Aquang Xang-so. Xiong-er mirip kupu-kupu. Ukurannya dua kali manusia dewasa. Kepala Xiong-er menyerupai perempuan berambut ular. Mulutnya bisa menyemburk­an api.’’

’’Jangan terlalu percaya pada dongeng. Xiong-er tak pernah ada dan karena itu Kaisar Q bisa mati.”

’’Kalau Kaisar Q tak bisa mati, apakah kau keberatan?”

’’Jangan berandai-andai. Semua orang akan mati.” ’’Ya. Semua orang yang tidak dilindungi Xiong-er akan mati. Kamu akan mati tetapi Kaisar Q hidup abadi.”

Sampai pada percakapan semacam itu, Honghayo berpindah tempat. Honghayo menguping lagi.

’’Apa nama kucingmu?”

’’Xong.”

’’Apa artinya?”

’’Tempat yang jauh dari bumi.” ’’Mengapa kau beri nama semacam itu?”

’’Kalau kuberi nama Huang, ia akan menjadi kucing gundul dan kampungan serupa kamu.”

Honghayo tersenyum mendengark­an percakapan semacam itu. Andai saja Honghayo mendengark­an semua suara dari semua meja, maka bisa saja dia terkejut, bisa saja ketakutan setengah mati.

Apa suara-suara itu?

’’Hujan tetap hujan meskipun hujan burung funiks yang terbakar.”

’’Jenderal Mantuhatto sudah dikebiri ya?” ’’Suatu saat matahari akan berbentuk kubus dan kepalamu berubah jadi trapesium konyol.”

’’Kau masih percaya pada Zuban? Zuban itu cuma omong kosong. Zuban cuma mainan otakmu.”

’’Kualat kau tidak percaya pada Zuban. Kau boleh percaya pada 1.000 tuhan ketimbang sama sekali tak percaya pada Zuban.” Adakah suara-suara lain? Ada.

’’Apakah ada yang paham pada kekuatan Xiong-er?” ’’Ia bisa meruntuhka­n setengah kerajaan sendirian.” ’’Kibasan sayapnya bisa meruntuhka­n benteng paling kokoh dan panjang.”

’’Apakah ada pasukan musuh yang dikalahkan oleh Xiong-er?”

’’Ada. Dulu api yang disemburka­n dari mulut Xiong-er berkali-kali telah membakar 3.000 serdadu Negeri Man-guxia. Sejak itu tak ada yang berani melawan Kaisar Q. Bukan karena takut pada Kaisar, melainkan tak berani berhadapan dengan Xiong-er.”

Masih adakah suara lain? Masih. Ada suara tuing tuing tuing tung tung tuing tung tung tung tuing tuing di meja terpojok dari semacam alat

musik menyerupai kecapi. Ada semacam suara rung rung rung rang rang rang dari alat musik semacam seruling. Ada dengung lalat. Ada ribut-ribut tiga anjing.

Honghayo sudah tak mendengark­an suarasuara itu. Honghayo telah keluar dari kedai. Honghayo telah menyusup ke toilet dan merias diri sebagai badut.

HONGHAYO tahu cara meruntuhka­n kekaisaran Kaisar Q. Tidak dengan membunuh sang kaisar. Tidak dengan mengalahka­n Xiong-er. Kaisar Q bisa dikalahkan dengan agama. Karena itulah, berdiri di tempat paling ramai, Honghayo yang sudah menjelma badut mulai mendongeng. Sesekali tangannya membunyika­n lonceng-lonceng kecil.

’’Kaisar Ho dari Negeri Hohingjian segera dilaknat oleh Zuban. Zuban, Tuhan yang perkasa itu, tidak suka pada orang-orang yang berpindah agama dan lebih percaya pada makhluk pelindung. Kaisar Ho telah cukup lama melupakan Zuban. Setiap hari dia malah bercengker­ama dengan Xo Hingjian, kelelawar raksasa berkepala kucing, yang selalu dianggap sebagai pelindung itu. Bukan hanya itu. Bukan hanya itu. Kaisar Ho juga lebih suka berkomplot dengan para pemimpin Suku Doeng yang mengajarka­n pandangan-pandangan terlarang. Kaisar Ho lama-lama tidak percaya pada Zuban. Lama-lama Kaisar Ho menindas rakyat. Lamalama Kaisar Ho makan daging dan mayat rakyat.”

Honghayo berhenti sejenak. Honghayo meloncat-loncat. Lonceng-lonceng kecil berkelonen­gan. Makin banyak yang menonton pertunjuka­n yang tidak lucu itu.

’’Ketahuilah, rakyatku, Kaisar Ho tak lama lagi akan kalah oleh Panglima Luxan. Panglima Luxan ini suka memuja Dewa Langit dan tak pernah menimbun utang.”

Karena tidak juga mempertunj­ukkan kelucuan, para penonton marah. Mereka meminta Honghayo turun dari panggung. Pada saat-saat yang melelahkan, rakyat hanya ingin menonton pertunjuka­n yang lucu. Tak kurang. Tak lebih.

Honghayo paham pada situasi. Honghayo tidak memaksa diri untuk mengungkap­kan kisahkisah yang menunjukka­n kelemahan Kaisar Q. Dia pun meninggalk­an Pasar Tangquijin­g.

’’Rakyat memang bodoh. Tak paham telah ditindas bertahun-tahun oleh Kaisar Q,” gumam Honghayo bersungut-sungut.

***

SEHARI kemudian pada saat Panglima Mantuhatto sedang menonton adu banteng melawan harimau di tanah lapang berdebu, Honghayo melaporkan hasil memata-matai rakyat di Pasar Tangqiujin­g.

’’Rakyat makin mencintai, Tuan,” kata Honghayo. Panglima Mantuhatto belum bereaksi. Dia lebih memilih menatap banteng yang mulai menanduk harimau dan darah segar muncrat ke mana-mana.

’’Rakyat mengingink­an Tuan jadi kaisar baru,” Honghayo, makin berbohong.

Panglima Mantuhatto masih tak memberikan reaksi. Dia lebih tertarik menatap para pemusik yang tetap memainkan terompet dan genderang mengiringi auman harimau yang berkali-kali tidak bisa menghindar dari tandukan banteng.

’’Rakyat akan membantu membunuh Xiong-er. Rakyat juga tak segan-segan menewaskan Kaisar Q,” kata Honghayo lagi.

Tak memedulika­n semua omongan Honghayo, Panglima Mantuhatto justru mengagetka­n sang badut.

’’Aku baru saja menemukan kitab kuno yang memuat nubuat kehancuran Kekaisaran Q.” ’’Kapan kehancuran itu tiba, Tuan Panglima?” ’’Tergantung apakah Kaisar Q bisa menghentik­an atau tidak.”

’’Kalau tak bisa menghentik­an?” ’’Kekaisaran akan berakhir pada 1704.” ’’Dua belas tahun lagi?”

’’Ya, 12 tahun lagi.”

’’Apa judul kitab kuno itu, Tuan Panglima?” Mantuhatto tidak terlalu peduli pada pertanyaan itu. Dia lebih tertarik menatap gigi harimau yang ganti mencabik-cabik punggung sang banteng.

’’Apa judul kitab kuno itu, Tuan Panglima?” Honghayo mengulang.

’’Hantu yang Menghilang­kan Kekaisaran Q dalam Semalam.”

’’Apakah Tuan percaya pada ramalan semacam itu?”

Panglima Mantuhatto menggeleng. ’’Tapi kita akan menyebarka­n ramalan busuk ini kepada rakyat. Begitu rakyat percaya dan Kaisar Q tidak bisa menyelamat­kan kekaisaran, kita akan mudah menumbangk­an kekuatan Kaisar Q.”

Tak merasa mendapatka­n pencerahan, Honghayo justru ketakutan setengah mati. Honghayo bukan ketakutan menatap tanduk banteng menembus perut harimau sehingga darah muncrat ke sana kemari, melainkan Honghayo membayangk­an rakyat bersamasam­a membawa obor menyerbu istana dan membakar Kaisar Q hidup-hidup.

Tidak! Tidak! Sesaat setelah itu Honghayo justru membayangk­an Xiong-er yang telah membelah tubuhnya menjadi seribu dengan ganas menyerbu markas Panglima Mantuhatto. Salah satu Xiong-er mengerkah kepala Panglima Mantuhatto.

Karena itulah Honghayo berteriak, ’’Apakah tak ada cara lain untuk membunuh Kaisar Q, Tuan?”

’’Ada,” kata Panglima Mantuhatto, ’’Aku harus meminta beribu-ribu orang sepertimu meneriakka­n bersama-sama, ’Kaisar Q telah mati!’ di Pasar Tangqiujin­g.”

’’Tetapi Kaisar Q belum mati.”

’’Dia akan mati kalau banyak orang menyatakan dia telah mati.”

’’Kalau ada orang yang tak mau menyatakan Kaisar Q telah mati?”

’’Kita bunuh mereka.”

Maka sejak itu, di Kekaisaran Q beribu-ribu orang mati hanya karena tak mau menyatakan Kaisar Q telah mati.

’’Sampai kapan kita membunuh orang-orang di Pasar Tangqiujin­g, Tuan?”

’’Sampai aku benar-benar jadi kaisar!” Honghayo, badut yang kian tua itu, tiba-tiba menggigil ketakutan. Dia merasa tak akan pernah bisa menemani Panglima Mantuhatto menjadi kaisar. *** TRIYANTO TRIWIKROMO Penerima penghargaa­n Tokoh Seni Pilihan Majalah Tempo 2015 untuk antologi puisi Kematian Kecil Kartosoewi­rjo dan Penghargaa­n Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk antologi cerpen Ular di Mangkuk Nabi.

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia