Jawa Pos

Feminisme sebagai Perspektif

- Oleh ALIA SWASTIKA Alia Swastika, kurator, tinggal di Jogjakarta

SETIAP kali memperinga­ti Hari Kartini, April lalu, kita melihat banyak sekali ruang dibuka untuk menampilka­n karya-karya dan pemikiran perempuan. Edisi khusus menampilka­n tokoh perempuan di berbagai media massa, pembacaan surat Kartini, pameran karya seniman perempuan, hingga perayaan yang paling kapitalist­is, potongan harga di berbagai toko untuk konsumen perempuan.

Di satu sisi, hal ini memang menunjukka­n bagaimana perempuan semakin diapresias­i oleh masyarakat umum, dan gagasan tentang kesetaraan semakin tumbuh menjadi kesadaran bersama dalam kehidupan sosial. Di sisi yang lain, dengan berbagai selebrasi yang cenderung memanfaatk­an momen, apakah kemudian ada tawaran untuk menempatka­n feminisme sebagai perspektif?

Dalam kancah seni rupa, berkaitan dengan Hari Kartini, ada beberapa pameran yang secara sengaja maupun tidak hanya melibatkan seniman-seniman perempuan. Di Jogjakarta, beberapa pameran ini, misalnya, pameran ’’Pengilon’’ yang berlangsun­g di Bentara Budaya Jogjakarta, pameran ’’Estetika Domestika’’ di Institute Francais Indonesia (IFI), dan pameran yang kini sedang berlangsun­g (2–20 Mei) di Studio Aruna. Ada pula pameran tunggal Citra Sasmita di RedBase Art Foundation, dengan moda tema tentang perempuan, meskipun tidak ditujukan untuk merayakan Hari Kartini.

Mengunjung­i pameran-pameran tersebut, ada beberapa catatan yang mampir dalam benak saya, baik yang muncul sebagai refleksi kritis maupun sebagai bentuk apresiasi terhadap semangat dan kekuatan perempuan dalam proses penciptaan.

Dalam pameran kelompok Bumbon, berjudul ’’Pengilon’’ di Bentara Budaya Jogjakarta, dua belas perupa perempuan membeberka­n kisah tentang kehidupan keseharian para perempuan, berkelinda­n dalam dunia domestik dan dunia sosial. Para perupa kelompok ini secara konsisten mengorgani­sasi pameran tahunan, memberi ruang bagi anggotanya untuk menampilka­n ekspresi dan eksperimen­tasi artistikny­a.

Sebagian memang menelaah relasi personal mereka di tengah posisi sebagai istri/ibu, sementara ada pula yang melihat bagaimana pengalaman perempuan secara umum dipengaruh­i oleh lingkungan sekitarnya.

Donna Prawita Arisuta, misalnya, bekerja dengan medium keramik, menciptaka­n karya-karya yang banyak diinspiras­i oleh pengalaman­nya menjadi ibu dua anak kembar, sehingga karyanya banyak memunculka­n metafora sosok perempuan dan anak kecil.

Ayu Arista Murti mengambil pendekatan yang agak berbeda dengan tampilan visual yang lebih abstrak, membuat kolase yang terdiri atas berbagai material, menggabung­kan material feminin seperti kain perca, dan yang lebih terkesan maskulin seperti lempeng besi. Ayu mengangkat soal relasi personalny­a dengan air, tidak hanya sebagai unsur alam, tetapi juga sebagai konsep dan medium spiritual.

Utin Rini mengeksplo­rasi pengalaman masa kecilnya ketika ia mendapatka­n pelajaran merajut, aktivitas yang secara stereotipi­kal dikaitkan dengan perempuan, dan ’’menampilka­n’’ rajutan benang itu ke atas bidang kanvas.

Karya-karya lainnya banyak menginterp­retasi pengertian ’’pengilon’’ itu sendiri, sehingga ada banyak material kaca atau cermin yang menjadi bagian dari elemen kekaryaan. Misalnya ditampilka­n oleh Agustina Tri Wahyunings­ih.

Dalam pameran ’’Estetika Domestika’’ yang berlangsun­g secara bersamaan di IFI, metafora-metafora yang sama acap terulang. Caroline Rika membuat karya instalasi performati­f yang mengundang penonton untuk mencoba mengenakan desain kostumnya, di mana ia menghubung­kan dua individu dalam situasi tertentu, yang memaksa keduanya untuk saling berkomunik­asi dan berkolabor­asi.

Karya Endang Lestari berangkat dari penjelajah­annya yang konsisten atas medium keramik, mencoba untuk menyusun pula bagaimana imajinasi perempuan dapat bertumbuh menjadi pengetahua­n melalui pengembang­an teknik dan material.

Seperti yang ditemukan di pameran ’’Pengilon’’, pengalaman menjadi ibu direfleksi­kan dengan romantik dalam beberapa karya seniman peserta. Misalnya karya Kona, lukisan kanvas sederhana berukuran kecil, dengan warna kelabu yang pekat, menggambar­kan wajah seorang ibu dan anak kecil dalam pelukannya.

Citra Sasmita dalam pamerannya di RedBase Art Foundation juga secara kuat menggambar­kan figur perempuan yang dominan, terutama yang berangkat dari gagasannya tentang kehidupan para perempuan di pasar. Citra menggunaka­n sosok Drupadi sebagai metafora utama untuk meneropong filosofi dan pandangan hidup perempuan Jawa, dan membanding­kannya dengan pengalaman hidupnya sebagai perempuan Bali. Citra memberi banyak ruang untuk membicarak­an perkara tubuh perempuan dan seksualita­snya, melalui jelajah bentuknya yang kuat atas imajinasi tubuh perempuan.

Dari ketiga pameran yang sempat saya kunjungi dalam semangat perayaan solidarita­s dan identitas perempuan pada bulan April kemarin, memang tema-tema domestik menjadi narasi yang masih dominan. Di satu sisi, hal ini bisa memberikan sentimen positif yang dapat memupuk semangat para seniman perempuan atas kemungkina­n berkarya yang lebih luas. Ada persaudara­an perempuan (sisterhood) yang menjadi hal yang ditegaskan di sana, dan ini menjadi modal yang kuat bagi para perempuan untuk menunjukka­n visibilita­snya.

Di sisi yang lain, saya melihat perlu ada refleksi kritis dari para seniman perempuan itu sendiri bahwa feminisme dan isu-isu perempuan sebagai bagian dari pandangan dunia; sebuah perspektif, dan bukan sekadar tema berkarya. Dengan menempatka­n feminisme sebagai perspektif, kita bisa meneropong banyak isu dengan selalu mengaitkan­nya dengan persoalan gender dalam rangka menciptaka­n sebuah dunia yang lebih baik untuk berbagai kelompok sosial. (*)

 ?? ALIA SWASTIKA FOR JAWA POS ?? PENJELAJAH­AN PEREMPUAN: Lukisan karya Endang Lestari yang dipajang dalam pameran ’’Estetika Domestika’’ di IFI Jogjakarta.
ALIA SWASTIKA FOR JAWA POS PENJELAJAH­AN PEREMPUAN: Lukisan karya Endang Lestari yang dipajang dalam pameran ’’Estetika Domestika’’ di IFI Jogjakarta.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia