Jawa Pos

Kembar

- *Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net

TAK banyak yang diketahui Sastro-Jendro tentang orang kembar. Paling manten anyar itu cuma denger-denger bahwa kalau yang satu meriang maka ikutan greges-greges-lah kembaranny­a.

Denger-denger tak bisa diandalkan. Lain dengan lihat-lihat.

Penunggu toko geregetan bertanya, ’Sampeyan mau beli apa?’ Sampeyan santai jawab, ’Ndak, kok, cuma lihat-lihat saja.’ Itu berarti bleger Sampeyan memang sungguh-sungguh berdenyut di sana. Bukan cuma arwah Sampeyan yang gentayanga­n di toko yang cuma jadi ajang lihat-lihatan itu.

’’Selamat pagi, Mas, Mbak. Perkenalka­n nama saya Erwin,” di ruang tunggu stasiun seorang pemuda gondrong piyak tengah berkumis tipis kenalan ke Sastro-Jendro.

’’Tadi malam saya bermimpi. Penyanyi Muchsin Alatas dan Titik Sandora nyanyi Semalam di Malaysia. Dalam mimpi itu, kira-kira menjelang Subuh, saya disuruh bertanya makna Semalam di Malaysia pada pasangan muda yang wajahnya persis Sampeyan berdua.’’

Sastro dan istrinya, Jendrowati, agak gelagapan. Mereka bukan ahli tafsir mimpi, dan tentang Malaysia mereka cuma denger-denger.

Denger-denger Indonesia dan Malaysia kembar, bahasanya hampir mirip. Denger-denger oposisi menang pada Undian Raya di sana. Denger-denger pilihan rakyat sana akan menular seperti pilek. Oposisi akan menang pula di sini nanti Pilpres 2019 karena, sama juga dengan di negeri jiran itu, rakyat sudah jengah dengan investasi modal dan tenaga kerja dari Tiongkok.

’’O tidak bisa, Friend,” tandas teman Sastro beberapa hari sebelumnya. ’’Mahathir yang sudah berusia 92 tahun kembali jadi perdana menteri bukan karena rakyat sumpek investasi dan tenaga kerja asal Tiongkok. Denger-denger karena rakyat marah pada korupsi penguasa sebelumnya.’’

Apapunpeny­ebabkemena­ngan itu, teman Sastro lainnya yakin sekali bahwa kemenangan oposisi di kembaran Indonesia akan menular ke Indonesia.

Tak dinyana-nyana, Jendrowati yang tampak sebagai ibu rumah tangga biasa ternyata ciamik juga berpendapa­t soal politik. ’’Menurutku Malaysia tak bakalan menulari kita. Kita yang justru pernah menulari mereka: Reformasi 1998. Ibaratnya kita pernah pilek tahun 1998. Flu itu kini baru berjangkit di Malaysia. Masa’ hidung kita akan sentrapsen­trup lagi ketularan apa yang sudah kita tularkan?”

Disetujui atau tidak segala pendapat tersebut, tentu saja semuanya hanya pikiran yang fondasinya cuma denger-denger.

Tergantung orang ingin percaya yang mana.

Sama halnya denger-denger ada yang yakin bahwa Ahok tidak meringkuk di tahanan Mako Brimob yang barusan rusuh. Tapi, denger-denger pula, ada yang yakin mantan gubernur DKI Jakarta itu mendekam di jantung pengamanan terorisme tersebut.

Lain halnya kalau kita mendengar teror berupa raungan sirene dan lampu strobo iring-iringan pejabat. Itu bukan denger-denger. Orang-orang di Klaten yang mendengar freatik Merapi. Itu bukan denger-denger.

O ya, ada teror yang lebih sejati, yaitu teror mindset. Sebut iklan suplemen atau obat-obatan penguat puasa yang ber-mindset bahwa puasa adalah masalah, bukan pemecah masalah. Kita sering mendengarn­ya di bulan Ramadhan. Itu bukan dengerdeng­er.

Di ruang tunggu bandara menjelang berangkat ke Jogja, SastroJend­ro dihampiri pemuda gondrong piyak tengah berkumis tipis yang langsung baper.

Bapernya, ’’Suatu malam saya bermimpi. Penyanyi Muchsin Alatas dan Titik Sandora nyanyi Semalam di Malaysia. Dalam mimpi itu, kira-kira menjelang Subuh, saya disuruh bertanya makna Semalam di Malaysia pada pasangan muda yang wajahnya persis Sampeyan berdua.’’

’’Kamu Erwin ya? Kita pernah ketemu di stasiun kan?” SastroJend­ro kompak setelah lama berusaha mengingat-ingat.

’’Bukan. Saya Erwan. Kembaranny­a Erwin.’’ (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia