Dulu Menolak, Sekarang Melunak
Anggota KBRS Hadiri Harmonisasi Budaya Jatim di Jabar
SURABAYA – Komunitas Bambu Runcing Surabaya (KBRS) sempat menolak perubahan nama Jalan Gunungsari dan Dinoyo yang digagas Gubernur Jatim Soekarwo. Awal Maret lalu mereka menyebarkan poster bertulisan ’’Tolak Pergantian Nama-Nama Jalan di Surabaya, Jangan Kaburkan Sejarah Surabaya’.’
Namun, sejumlah anggota komunitas itu justru tampak hadir dalam acara Harmonisasi Budaya Jatim-Jabar di Bandung pada Jumat (11/5). ’’Bagi saya pribadi, Indonesia butuh kebersamaan. Saya kira harus ada sikap membuka ruang untuk dialog, kemudian lapang dada,’’ ujar Isa Ansori, salah seorang pentolan KBRS.
Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Jatim tersebut menambahkan, pihaknya juga diminta Pemprov Jatim untuk memberikan pendapat dalam menyelesaikan polemik perubahan nama jalan tersebut.
Perubahan nama jalan itu diusulkan untuk menyudahi perseteruan antara etnis Jawa dan Sunda sejak Perang Bubat pada abad ke-14. Hubungan kedua etnis diharapkan terjalin lebih erat setelah adanya harmonisasi budaya. ’’Ada niat baik untuk membuka diri. Konteks Indonesia tidak harus saya dan Anda,’’ lanjut Isa.
Dia menganggap dialog antara KBRS dan Pemprov Jatim adalah hal lumrah. Dia mencontohkan Bung Karno yang berdialog dengan berbagai pihak dalam pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey menyayangkan sikap komunitas yang berbalik arah itu. Dia mengungkapkan, dialog tersebut seharusnya dilakukan dalam rapat panitia khusus (pansus) di DPRD Surabaya. ’’Dialog itu seharusnya bukan dengan pemprov. Sebab, perubahan nama jalan itu harus seizin wali kota atas persetujuan DPRD Surabaya,’’ jelasnya.
Pemkot telah mengirimkan draf perubahan nama jalan tersebut lengkap dengan usul revisi Perda Nomor 2 Tahun 1975 tentang pemberian nama-nama untuk jalan, tempat rekreasi, taman, dan tempat lainnya.
Awey menerangkan, perubahan nama jalan juga perlu mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar. Sebab, merekalah yang bakal diribetkan oleh urusan administratif. Ganti alamat berarti harus mengganti seluruh data kependudukan, asuransi, hingga perbankan.
Dia menekankan, pihak yang menolak perubahan nama jalan tidak berarti menolak harmonisasi budaya. Menurut Awey, ada cara yang lebih baik ketimbang mengganti nama jalan yang bernilai sejarah tinggi. ’’Saya kira bangun monumen itu lebih elegan. Tidak akan ada yang mempermasalahkan,’’ ujarnya.