Revisi UU Terorisme Harus Tuntas Juni
KESABARAN Presiden Joko Widodo untuk menunggu penyelesaian revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hampir habis
Kepala negara memberikan batas waktu kepada DPR dan kementerian terkait untuk mengesahkan revisi UU tersebut selambat-lambatnya pada akhir masa sidang DPR Juni 2018.
Presiden menegaskan, jika hingga akhir masa sidang Juni revisi UU tidak selesai, pemerintah akan mengambil opsi lain. ”Saya akan keluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undangundang, Red),” ujarnya setelah menghadiri rakornas pemerintahan desa di Jakarta International Expo kemarin (14/5).
Mantan wali kota Solo itu mengakui, regulasi yang ada saat ini belum cukup kuat untuk menghadapi aksi terorisme. Karena itu, dibutuhkan aturan yang lebih progresif. ”Ini merupakan sebuah payung hukum yang penting bagi aparat Polri untuk bisa menindak tegas dalam pencegahan maupun dalam tindakan,” imbuhnya.
Karena itu, pihaknya mengaku sudah tidak bisa menunggu lama. Sebab, usulan draf revisi sudah disampaikan pada Februari 2016, pascatragedi teror di Sarinah, Jakarta, atau sudah lebih dari dua tahun.
Sebelumnya, keluhan terkait lambatnya pengesahan revisi UU Terorisme juga disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Tito menilai, di UU Terorisme saat ini, meski sudah mengetahui sel-sel teroris, kepolisian tidak bisa bertindak sebelum ada kejadian atau barang bukti.
Pada kesempatan tersebut, presiden juga mengutuk keras aksi bom bunuh diri yang terjadi di Mapolrestabes Surabaya. Menurut dia, itu merupakan tindakan pengecut, tidak bermartabat, dan biadab.
Jokowi kembali menegaskan bahwa negara akan melawan dan membasmi terorisme sampai ke akarnya. ”Saya perintahkan kepada Kapolri untuk tegas, tidak ada kompromi dalam melakukan tindakan-tindakan di lapangan untuk menghentikan aksi terorisme ini,” ucapnya.
Sementara itu, saat menghadiri Halaqoh Nasional Hubbul Wathon, Jokowi mengajak para ulama memasifkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Menurut dia, tindakan yang dilakukan para teroris tidak mencerminkan perilaku yang diajarkan Islam.
”Saya kira kewajiban kita bersama para mubalig untuk mengingatkan. Bahwa agama kita, Islam, tidak mengajarkan seperti itu, tidak mengajarkan sesuatu dengan kekerasan, tidak ada.”
Sebaliknya, Islam justru mengajarkan sikap lembut, sopan, rendah hati, dan menghargai orang lain. ”Saya kira itu yang diajarkan oleh nabi besar (Muhammad SAW) kita kepada kita,” ucapnya.
Tidak lama setelah pernyataan presiden terkait revisi UU Terorisme, Menko Polhukam Wiranto mengumpulkan para Sekjen dan pimpinan fraksi dari parpol pendukung pemerintah. Mulai Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sampai perwakilan PAN yang dihadiri Wakil Ketua Umum Bara Hasibuan. Tampak pula Sekjen PSI Raja Juli Antoni sebagai partai baru pendukung pemerintah.
Sejak pukul 10.00, Wiranto melakukan pertemuan tertutup dengan para pimpinan DPP dan fraksi di Senayan. Pertemuan itu berlangsung hampir dua jam.
Kepada wartawan, Wiranto menegaskan bahwa presiden telah menyampaikan perintah dan langkah-langkah tegas untuk memberantas terorisme. ”Kita butuh satu payung hukum yang kuat terkait pelibatan TNI dan revisi UU Terorisme,” kata Wiranto yang didampingi para pengurus partai dan pimpinan fraksi.
Wiranto mengungkapkan, pertemuannya dengan pimpinan partai membicarakan cara agar revisi UU Terorisme bisa cepat diselesaikan. Situasi yang dihadapi saat ini adalah kegiatan terorisme yang notabene menjadi musuh dunia.
Terorisme tidak pernah mengenal kesepakatan dunia. Mereka justru memberikan ancaman luar biasa di berbagai belahan dunia. ”Mereka tidak pandang bulu. Serangan total ini harus dihadapi dengan total,” tegas mantan panglima ABRI itu.
Pertemuan tersebut, lanjut Wiranto, dilakukan untuk menuntaskan hambatan terkait perbedaan pandangan atas revisi UU Terorisme. Wiranto menyebut dua hal krusial yang telah diselesaikan, yakni terkait definisi terorisme dan pelibatan TNI.
Wiranto menyebut pimpinan dari tujuh fraksi pendukung pemerintah sudah menyatakan bersedia menyelesaikan konsep terakhir itu. ”Karena itu, kami sepakat tidak menggunakan perppu. Kalau revisi UU bisa diselesaikan cepat, tidak perlu ada perppu,” ujar ketua Dewan Pembina Partai Hanura itu.
Revisi UU Terorisme, lanjut Wiranto, memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum untuk lebih dini dalam pencegahan aksi terorisme. Dalam satu kesempatan, aparat –dalam hal ini kepolisian– bisa melakukan antisipasi sehingga tidak ada lagi peristiwa yang berujung ledakan bom di berbagai tempat. ”UU itu frasanya ke sana sehingga kami tidak ’kecolongan’,” kata Wiranto.
Terkait pelibatan TNI, aturan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan kewenangan pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang. Wiranto kembali menegaskan bahwa serangan total teroris harus dihadapi dengan total juga. Upaya menangkal aksi terorisme pun bisa dilakukan TNI. ”Kalau ada kekhawatiran TNI seperti masa lalu, ada junta militer, saya jamin tidak ada,” tegasnya. Dalam hal ini, pembahasan di Pansus Revisi UU Terorisme sudah menyepakati pelibatan TNI dalam operasi pemberantasan teroris akan diatur lebih jelas melalui perpres.
Di tempat yang sama, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan yang juga anggota Pansus Revisi UU Terorisme Arsul Sani menyatakan, sejatinya hanya tinggal satu perbedaan, yakni terkait definisi terorisme, untuk dimasukkan ke pasal batang tubuh. Menurut Arsul, isu terkait definisi terorisme sudah mengerucut pada dua opsi yang bisa dipilih.
Opsi pertama memasukkan frasa adanya motif atau kepentingan politik, ideologi, atau ancaman terhadap keamanan negara. Opsi kedua tidak memasukkan frasa-frasa itu ke batang tubuh UU, dengan memberikan keleluasaan yang lebih kepada penegak hukum di dalam melakukan proses penegakan hukum. ”Dua opsi ini tinggal dipilih. Saya yakin begitu ini disepakati, pembahasan akan rampung,” kata Arsul.