Teror Surabaya, Pola Lama Tren Baru
SERANGAN teroris di Surabaya dilancarkan dengan menggunakan pola lama, tetapi berpotensi memunculkan tren baru yang dikhawatirkan memicu tindakan serupa pada masa mendatang. Pengeboman di tiga gereja Minggu (14/5) dan di Mapolrestabes Surabaya Senin (15/5) yang dilakukan dengan bunuh diri merupakan pengulangan pola lama pada masa lalu yang sempat diubah dengan penembakan dan penusukan polisi dalam aksi jaringan teroris beberapa tahun terakhir. Bedanya, jika sebelumnya pengeboman bunuh diri hanya melibatkan individu atau sekelompok orang yang tidak terikat pertalian darah, kini aksi teror dilakukan satu keluarga utuh yang terdiri atas bapak, ibu, dan anakanak mereka.
Bunuh Diri Untuk kali pertama, bom bunuh diri mengguncang Indonesia ketika Iqbal meledakkan dirinya di Paddy’s Café, kawasan Pantai Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Selanjutnya, bom bunuh diri berkali-kali terjadi di Hotel JW Marriott Jakarta (5/8/2003), Kedutaan Besar Australia di Jakarta (9/9/2004), Bali (1/10/2005), Hotel Ritz-Carlton Jakarta (17/7/2009) Masjid Adz-Dzikra Cirebon (15/4/2011), Sarinah Jakarta (14/1/2016), Mapolresta Solo (5/7/ 2016), dan Kampung Melayu Jakarta (24/5/2017). Semua aksi pengeboman bunuh diri tersebut dilakukan secara individual oleh seorang lelaki. Pertanyaannya, kenapa harus bunuh diri dan kenapa pula selalu lelaki yang melakukannya?
Dalam buku Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), Robert Pape meyakini bahwa fundamentalisme agama bukanlah faktor pemicu seseorang melakukan pengeboman bunuh diri. Studi Pape terhadap 462 kasus bom bunuh diri di seluruh dunia menemukan fakta bahwa pengeboman bunuh diri dilancarkan untuk mendesak kekuatan global menarik pasukan militernya dari wilayah yang dianggap teroris sebagai tanahnya. Sejalan dengan Pape, dalam buku Driven to Death: Psychological and Social Aspects of Suicide Terrorism (2010), Ariel Merrari juga menolak pendapat bahwa agama telah memicu individu melakukan pengeboman bunuh diri. Perasaan tertindaslah yang lebih memotivasi teroris meledakkan dirinya sendiri.
Dalam kajian maskulinitas, lelaki adalah sosok yang merasa terhina jika mengalami penindasan. Perasaan sebagai makhluk kuat dan berani direproduksi terus-menerus oleh berbagai kisah kepahlawanan yang menampilkan lelaki sebagai pelindung perempuan. Kala dihadapkan pada pilihan untuk mati meledakkan diri, lelaki yang tergabung dalam jaringan teroris tidak ragu untuk menawarkan diri. Karena karakter pemberani semacam itu umumnya tidak dimiliki perempuan, maka ketika ada perempuan dan bahkan anak-anak yang melakukan pengeboman bunuh diri, fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai tren baru yang tidak pernah diduga siapa pun.
Keluarga Teroris Keterlibatan keluarga dalam jaringan teroris sebenarnya bukan fenomena baru di Indonesia. Jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang bertanggung jawab atas serangkaian aksi teror di Indonesia pada awal 2000-an mengikat anggotanya dalam pola hubungan kekeluargaan yang amat erat. Para pelaku bom Bali, yakni Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron, merupakan saudara kandung. Operasi teror JI dikendalikan Hambali yang dibantu adik kandungnya, Gun Gun Gunawan. Mereka bekerja sama menebar teror, tetapi tidak pernah sekali pun melibatkan istri dan anakanak mereka.
Karena itu, sungguh sangat mengejutkan ketika Dita Oepriarto, 47, melibatkan istrinya, Puji Kuswati, 43, beserta keempat anak mereka, Yusuf Fadhil, 18; Firman Halim, 16; Fadhila Sari, 12; dan Famela Rizqita, 9; untuk bunuh diri mengebom tiga gereja di Surabaya dalam waktu hampir bersamaan. Seiring dengan terjadinya serangan serupa di Mapolrestabes Surabaya sehari kemudian, aksi teror bom bunuh diri oleh satu keluarga bakal menjadi tren baru jaringan teroris. Ke depan, fenomena itulah yang harus kita waspadai dalam penanggulangan terorisme.
Keluarga memiliki peran sebagai benteng bagi pertumbuhan bibit radikalisme anak-anak muda. Tahun lalu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melaporkan bahwa anak muda merupakan golongan usia produktif yang paling rentan teradikalisasi. Data BNPT memperlihatkan, lebih dari 52 persen narapidana teroris yang menghuni lembaga pemasyarakatan berusia 17–34 tahun. Karena virus radikalisme selalu menyasar anakanak muda, bimbingan orang tua diharapkan mampu memoderasi jalan pikiran anak-anaknya.
Namun, dalam kasus keluarga yang dikepalai sosok radikal seperti Dita, keluarga justru menjadi penanam virus tersebut. Bibit radikalisme dalam diri Dita seolah menjadi virus yang ditebar ke anakanaknya yang masih belia. Di usianya yang menginjak 47 tahun, sulit memercayai Dita baru mengalami radikalisasi belakangan ini, ketika ISIS berkembang dan dia menjabat ketua Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya. Apabila radikalisme mulai hinggap di usia muda, ada kemungkinan Dita mulai memiliki pemikiran radikal pada 1990-an, ketika gelombang radikalisasi global menjalar ke seluruh dunia akibat pembantaian etnis muslim di Bosnia. Kepergian Dita ke Syria semakin memantapkan hatinya untuk melancarkan aksi kekerasan di tanah kelahiran sendiri. Sosok semacam Dita bisa ditemukan di mana saja dan karena itulah kita harus selalu waspada. *) Pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya