Jawa Pos

Stop Ingkari Kanker Terorisme

-

PERTUMPAHA­N darah karena terorisme kian memualkan. Para pengganas yang tega melakukan fahsya’i wal munkar (kekejian dan kemungkara­n) itu layak dihujani kutukan paling keras. Sungguh mengerikan hasil cuci otak. Sampai anak-anak kecil yang belum mumayyiz (tahu baik buruk) pun dikorbanka­n.

Menyimak reaksi terjadinya peristiwa tersebut, ada yang patut dicermati. Coba pantau di medsos. Sewajarnya bila khalayak mengucapka­n belasungka­wa, mengecam, bahkan mengutuk kebengisan itu. Bahkan, alhamdulil­lah, muncul gerakan donor darah spontan ratusan warga Surabaya. Semangat yang sangat membesarka­n hati dalam situasi sulit dua hari kemarin ini.

Namun, mungkin tanpa disadari, bukan hanya para teroris yang tercuci otaknya. Ada gejala denial atau pengingkar­an dari peristiwa faktual yang merenggut nyawa itu. Tanpa mengindahk­an perasaan korban dan publik yang ketakutan, ada yang tega menyebut itu by design atau ada konspirasi. Intinya, kebrutalan teroris ini ada yang mengendali­kan. Bahkan, diberikan argumen yang seolah-olah rasional dan historis, misalnya dikaitkan dengan ”rekayasa” peristiwa zaman silam. Juga dikaitkan dengan suksesi politik.

Memang terasa ”menenangka­n hati” mengingkar­i kenyataan ini. Tapi jelas terasa tak berperasaa­n. Sebab, faktanya bom meledak, ada pelakunya yang mengusung pemahaman keji, serta ada korbannya yang bersimbah darah. Fakta keras itu tidak seharusnya dikesampin­gkan dalam analisis model apa pun.

Para pelaku tersebut layak diperlakuk­an seperti tumor ganas dalam tubuh kita. Kita akui dulu memang ada tumor dalam tubuh kita agar diagnosis penyembuha­nnya tepat. Termasuk apabila perlu dipotong dan diangkat. Kalau kita mengingkar­i adanya penyakit yang menggerogo­ti kita, anggotaang­gota badan yang sehat bisa terpengaru­h.

Beralasan kiranya bila pelaku terorisme disebut kaum radikal. Mereka seperti ”radikal bebas” yang memapar tubuh kita sehingga membangkit­kan berbagai penyakit, terutama kebencian ke segala arah. Kalau kita mengenteng­kan, malapetaka pun be r si maharajale­la.

Mari kita waspadai penyakit ekstremism­e ini. Jangan diingkari. Bila ada gejala-gejala sikap antisosial atas nama keyakinan di sekolah, lingkungan, rumah tangga, kantor, tempat ibadah, atau di mana pun, segera diterapi. Kalau bisa, diajak kembali ke kehidupan sewajarnya. Berani mati sering lebih pengecut ketimbang berani hidup mulia. Apalagi setelah kematianny­a menyusahka­n kaumnya sendiri.

 ?? ILUSTRASI ERIE DINI/JAWA POS ??
ILUSTRASI ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia